Sah! – Dalam kehidupan sehari-hari, perjanjian merupakan aspek penting yang mengatur hubungan hukum antarindividu. Berdasarkan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), perjanjian adalah tindakan hukum di mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya kepada pihak lain.
Selain itu, Prof. Subekti menjelaskan bahwa perjanjian adalah peristiwa ketika satu pihak memberikan janji kepada pihak lain, atau ketika kedua pihak saling berjanji untuk melakukan sesuatu. Dengan demikian, sebuah perjanjian tidak hanya sebatas kesepakatan, melainkan memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak yang membuatnya.
Mekanisme Pembatalan Perjanjian dan Peran Pengadilan
Selanjutnya, Pasal 1266 KUH Perdata menyebutkan bahwa dalam perjanjian timbal balik, apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, perjanjian tidak otomatis batal. Pembatalan harus melalui proses pengadilan.
Bahkan, meskipun dalam perjanjian terdapat klausul syarat batal, putusan hakim tetap diperlukan untuk menyatakan sah atau tidaknya pembatalan tersebut. Hakim pun memiliki kewenangan untuk memberikan waktu tambahan bagi pihak yang lalai agar dapat memenuhi kewajibannya, dengan batas maksimal satu bulan.
Oleh karena itu, ketentuan ini menegaskan bahwa hukum Indonesia menjunjung tinggi kepastian hukum dan perlindungan bagi kedua pihak. Jika pembatalan dilakukan secara sepihak tanpa proses hukum, tindakan tersebut berpotensi melanggar hukum dan merugikan pihak lainnya.
Pandangan Yurisprudensi Mahkamah Agung
Selain itu, praktik peradilan juga memperkuat larangan pembatalan sepihak. Dalam Putusan MA Nomor 1051 K/Pdt/2014, penghentian perjanjian tanpa persetujuan pihak lain dinyatakan melanggar Pasal 1338 KUH Perdata dan termasuk perbuatan melawan hukum.
Begitu pula, dalam Perkara Peninjauan Kembali Nomor 580 PK/Pdt/2015, penghentian kerja sama secara sepihak dianggap melawan hukum, dan pihak yang melakukannya diwajibkan membayar ganti rugi.
Dengan demikian, putusan-putusan Mahkamah Agung ini menegaskan konsistensi lembaga peradilan dalam menegakkan asas keadilan dan kepastian hukum bagi para pihak yang terikat perjanjian.
Konsep Repudiasi dan Akibat Hukumnya
Selanjutnya, selain pembatalan, dikenal pula konsep repudiasi, yaitu sikap atau pernyataan salah satu pihak yang menolak melaksanakan kewajiban dalam perjanjian. Penolakan ini bisa dilakukan secara terang-terangan (eksplisit) atau tersirat (implisit) melalui tindakan tertentu.
Sebagai konsekuensinya, pihak yang dirugikan berhak mengajukan pembatalan melalui pengadilan dan menuntut ganti rugi.
Lebih lanjut, Pasal 1451 dan 1452 KUH Perdata menyebutkan bahwa pembatalan perjanjian mengembalikan para pihak pada keadaan semula, seolah-olah perjanjian tersebut tidak pernah ada. Semua prestasi yang telah diterima harus dikembalikan. Apabila pihak yang membatalkan sepihak menolak mengembalikan, pihak lain dapat mengajukan gugatan lanjutan.
Kesimpulan: Pembatalan Sepihak Tidak Sah Secara Hukum
Berdasarkan aturan KUH Perdata dan yurisprudensi, jelas bahwa pembatalan perjanjian secara sepihak tidak sah secara hukum. Pembatalan hanya dapat dilakukan melalui kesepakatan bersama atau putusan pengadilan.
Apabila pembatalan dilakukan sepihak tanpa dasar hukum yang jelas, tindakan tersebut dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dan dapat menimbulkan kewajiban ganti rugi.
Meskipun demikian, dalam praktiknya masih banyak pihak yang mencoba mengakhiri perjanjian secara sepihak. Namun, hukum Indonesia telah menyediakan mekanisme tegas untuk mencegah tindakan semena-mena. Prinsip ini tidak hanya menjaga kepastian hukum, tetapi juga memastikan keseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak.
Saatnya buat bisnismu resmi!
Urus legalitas usahamu sekarang bersama Sah! Indonesia.
Bagi kamu yang ingin mendirikan usaha atau mengurus perizinan, silakan hubungi WhatsApp 0856 2160 034 atau kunjungi Sah.co.id.
Source:
