Berita Terbaru Hari Ini, Update dan Terpercaya

Menimbang Aspek Hukum Impor Pakaian Bekas: Tren Thrifting

Sah! – Fenomena thrifting atau membeli pakaian bekas kini bukan sekadar tren singkat, melainkan telah menjadi bagian dari gaya hidup kaum muda di Indonesia. Harga yang terjangkau, model yang unik, serta nilai keberlanjutan membuat aktivitas ini digemari. 

Bagi sebagian orang, thrifting dianggap langkah bijak untuk tampil modis sekaligus peduli terhadap lingkungan. Namun, di balik citra positif tersebut, tersembunyi persoalan hukum dan ekonomi yang cukup kompleks, terutama ketika barang yang dijual ternyata berasal dari luar negeri.

Antara Gaya Hidup Populer dan Pelanggaran Aturan Perdagangan

Secara hukum, jual beli barang bekas dalam negeri tidak menyalahi aturan. Namun, situasinya berbeda bila pakaian tersebut diimpor. Berdasarkan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, sebagaimana telah diubah oleh UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, seluruh barang impor wajib dalam kondisi baru.

Larangan ini ditegaskan lebih lanjut melalui Permendag Nomor 40 Tahun 2022 dan Permendag Nomor 24 Tahun 2025, yang secara eksplisit melarang impor pakaian dan barang bekas. Dengan demikian, menjual pakaian impor bekas termasuk dalam kategori perbuatan ilegal dan dapat dikenai sanksi pidana maupun administratif.

Pelarangan tersebut tidak hanya beralasan hukum, tetapi juga berkaitan dengan perlindungan industri tekstil dalam negeri dan kesehatan masyarakat. Pemerintah menilai banjir pakaian bekas dari luar negeri sebagai ancaman bagi keberlangsungan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional sektor yang banyak digerakkan oleh pelaku UMKM.

Dampak Ekonomi dan Sosial yang Tak Bisa Diabaikan

Masuknya pakaian bekas ilegal dalam jumlah besar telah menimbulkan dampak ekonomi serius. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai impor kategori pakaian bekas dan gombal pada Januari – Juli 2025 mencapai 78,19 juta dolar AS, naik lebih dari 17 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Menurut Ellianah Setiady, pemilik PT Momentum Velo Inovasi, arus barang impor murah membuat produk garmen lokal kesulitan bersaing karena biaya produksi di Indonesia lebih tinggi akibat beban pajak dan upah minimum. Akibatnya, permintaan menurun, pabrik kecil gulung tikar, dan banyak pekerja kehilangan mata pencaharian.

Laporan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament (APSyFI) juga menyebut, serbuan impor ilegal menggerus sekitar 23 persen pangsa pasar domestik, sementara UMKM kehilangan hingga 15 persen penjualannya. Negara pun dirugikan karena kehilangan potensi penerimaan pajak dan bea masuk hingga Rp 6,2 triliun per tahun.

Risiko Kesehatan dan Dampak Lingkungan

Dampak negatif impor pakaian bekas tidak berhenti pada sektor ekonomi saja. Dari hasil uji laboratorium Kementerian Perdagangan, ditemukan bahwa sebagian pakaian impor bekas mengandung jamur dan bakteri berbahaya yang dapat memicu penyakit kulit hingga infeksi serius.

Dari sisi lingkungan, thrifting berbasis impor justru memperparah persoalan limbah tekstil. Alih-alih menjadi langkah ramah lingkungan, praktik ini hanya memindahkan tumpukan sampah dari negara maju ke negara berkembang seperti Indonesia.

Langkah Pemerintah dan Tantangan Pengawasan

Untuk menekan praktik impor ilegal, pemerintah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pengawasan Barang Impor Ilegal sejak Juli 2024, melibatkan Bea Cukai, Kepolisian, dan Kementerian Perdagangan. Satgas ini berhasil menyita ribuan bal pakaian bekas yang diselundupkan dan melakukan pemusnahan sebagai bentuk penegakan hukum.

Meski demikian, tantangan besar masih ada, terutama dari perdagangan digital seperti live shopping dan jasa titip (jastip) luar negeri yang kian marak. Pola distribusi ini membuat pengawasan semakin rumit. Karena itu, pemerintah terus mengimbau masyarakat agar berhati-hati dalam berbelanja serta menanamkan sifat nasionalisme dengan bangga menggunakan produk Indonesia. 

Refleksi: Bijak Bertren, Taat Hukum

Melihat dari sisi hukum, ekonomi, dan sosial, sudah semestinya masyarakat lebih bijak dalam menyikapi tren thrifting. Jika niatnya untuk menghemat dan mengurangi limbah, pilihan terbaik adalah membeli produk bekas dari dalam negeri. Dengan begitu, masyarakat tetap bisa berkontribusi pada ekonomi sirkular tanpa melanggar hukum dan tanpa merugikan pelaku usaha lokal.

Pada akhirnya, setiap keputusan membeli mencerminkan kesadaran hukum dan kepedulian sosial. Mendukung produk lokal bukan hanya soal ekonomi, melainkan juga bentuk nyata menjaga kemandirian bangsa serta keberlanjutan industri fesyen Indonesia. Thrifting boleh tetap menjadi gaya hidup, selama tidak bertentangan dengan aturan dan nilai keadilan bagi pelaku usaha di negeri sendiri.

Seluruh informasi yang ada di artikel ini disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum. Bagi kamu yang ingin mendirikan usaha atau mengurus perizinan, silakan hubungi WhatsApp 0856 2160 034 atau kunjungi website Sah.co.id.

Exit mobile version