Sah! – Green Financing atau pembiayaan hijau merupakan suatu upaya pembiayaan untuk membiayai proyek-proyek berkelanjutan yang mengedepankan lingkungan sehingga mampu untuk mengurangi kerusakan lingkungan, tetapi dalam praktiknya masih terdapat tantangan.
Green Financing melingkupi investasi pada barang dan/atau jasa terkait lingkungan dan suatu hal yang mengurangi kerusakan lingkungan beserta dengan iklim. Pada kebijakan publik, hal ini terlibat dalam pembiayaan proyek atau insentif perlindungan lingkungan.
Dengan Green Financing terdapat beberapa dimensi. Pertama, mencapai keunggulan dalam industri, sosial, dan ekonomi untuk meminimalisasi ancaman dan permasalahan lingkungan. Kedua, bertujuan untuk mengarah ke ekonomi rendah karbon secara kompetitif.
Ketiga, mengedepankan investasi ramah lingkungan secara strategis pada berbagai sektor usaha. Keempat, mengedepankan prinsip pembangunan Indonesia sesuai RPJM, yaitu 4P (Pro-growth, Pro-jobs, Pro-poor, dan Pro-environment).
Risiko Penerapan Green Financing
Proyek berkelanjutan yang mengedepankan lingkungan perlu investasi awal yang lebih tinggi serta terdapat jangka waktu pengembalian dana yang relatif lebih lama daripada proyek konvensional.
Selain itu, regulasi mengenai hal ini dapat berdampak pada profitabilitas dan ketersediaan dana sehingga penilaian risiko pada pembiayaan model ini diperlukan kecermatan dan manajemen yang baik untuk meminimalisasi potensi kerugian.
Dengan begitu, hal ini tentunya menghadapi berbagai tantangan yang sangat kompleks karena adanya kontrakdiktif antara tujuan berkelanjutan dengan keuntungan finansial. Maka dari itu, lembaga keuangan dan investor perlu untuk mewujudkan keseimbangan tersebut.
Penilaian pada proyek berkelanjutan beserta dengan standar keberlanjutan secara konsisten juga perlu untuk diperhatikan karena lembaga keuangan harus benar-benar memilih proyek mana yang mungkin untuk mewujudkan kedua hal tersebut.
Risiko teknis, perubahan regulasi, dan fluktuasi pasar juga menjadi hal yang dapat mempengaruhi pelaksanaan pembiayaan model ini. Oleh sebab itu, perlu adanya kerangka kerja dan standardisasi sebagai bentuk evaluasi proyek berkelanjutan.
Tantangan Penerapan Green Financing
Beberapa tantangan yang didapati dari penerapan Green Financing, yaitu:
- Biaya Green Industry yang Cukup Mahal
Dalam hal ini, sebuah proyek yang mengedepankan lingkungkan juga perlu untuk memperoleh sejumlah sertifikasi mengenai industri ramah lingkungan. Namun, masih banyak perusahaan yang belum memiliki sertifikasi tersebut.
Hal tersebut dapat menyebabkan penghambatan pembiayaan hijau karena perbankan memiliki standardisasi dalam pengecekan dokumen, termasuk sertifikasi tersebut. - Standardisasi Persyaratan Dokumen yang Belum Memadai
Pemerintah belum menetapkan standardisasi persyaratan dokumen terkait lingkungan untuk setiap bank sehingga setiap bank memiliki kebijakan dan standar yang berbeda-beda terkait hal ini. - Kurangnya Insentif Pembiayaan Hijau terhadap Lembaga Keuangan
Lembaga keuangan menerbitkan instrumen keuangan yang berkelanjutan. Namun, terdapat tambahan biaya untuk keperluan verifikator independen untuk mengakses sektor yang telah termasuk kategori pembiayaan berkelanjutan atau tidak.
Tambahan biaya tersebut disebabkan oleh verifikator yang berasal dari pihak eksternal terhadap proyek keberlanjutan.
Kurangnya insentif ini mengakibatkan minat para investor terhadap hal ini tetap rendah karena insentif digunakan sebagai kompensasi terhadap potensi risiko yang timbul karena adanya pembiayaan yang masuk ke dalam sektor ini dan pengalaman mengelola risiko secara terbatas. - Kurangnya Kesadaran/Pemahaman
Para calon peminjam dan investor masih banyak yang belum memahami atau sadar akan hal ini. Dengan begitu, para bank penting untuk memfasilitasi edukasi terhadap nasabah mereka terkait proyek keberlanjutan. - Ketidakjelasan Kategori Green dan Non-Green pada Instrumen Keuangan
Dalam hal ini terutama pada penentuan harga karena menjadi suatu pertimbangan tersendiri bagi sektor keuangan atau lembaga keuangan untuk masuk ke dalam Green Financing.
Hal ini juga dapat dilihat dari adanya masalah internalitas dan eksternalitas pada lingkungan, informasi yang masih belum jelas, penjelasan yang kurang terhadap definisi ‘green’ dari Green Financing, serta konsistenya kurang terhadap penilaian level ‘hijau’ pada sebuah perusahaan.
Selain itu, terdapat definisi yang belum jelas terhadap ‘coporate greeness’ dan tidak tersedianya green data.
Selain tantangan tersebut banyak para pihak berkepentingan yang mendapati tantangan dari Green Financing.
Menurut Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D. Hadad, tantangan tersebut berupa kurangnya kapasitas institusi keuangan dalam mengidentifikasi risiko sosial dan lingkungan dan kurangnya kesadaran lembaga keuangan dan pemerintah.
Selain itu, menurutnya tantangan juga berasal dari ketidaksesuaian terhadap jangka waktu pembayaran karena proyek tersebut biasanya jangka panjang dan kurangnya informasi akan proyek keberlanjutan
kapasitas sektor perbankan yang kurang untuk mendukung proyek keberlanjutan karena popularitas yang kurang terhadap hal ini juga menjadi tantangan tersendiri menurut Muliaman.
Kepala Grup Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi OJK, Enrico Harantoro, salah satu tantangan secara global adalah belum adanya standar pelaporan dan metode pengukuran risiko dalam melakukan perhitungan financial tentang iklim pada neraca bank.
Wakil Direktur Utama Bank Mandiri, Alexandra Askandar, juga mengungkapkan beberapa tantangan yang dihadapi, yakni kesadaran dan pemahaman yang kurang dari sejumlah instansi atau industru untuk mencapai target pemerintah, yaitu Net Zero Emission pada tahun 2060.
Menurutnya, hal ini ditambah dengan perusahaan yang masih memiliki kesulitan keuangan dan mungkin memang belum menjadi fokus perusahaan pada saat ini. Lanjutnya, pemerintah pun belum memberikan kerangka besar dan turunannya sebagai pedoman dalam penerapan ini.
Sementara itu, menurut Direktur Keuangan Bank BCA, Vera Eve Lim, mengungkapkan bahwa tantangannya adalah mengatasi potensi peningkatan pada Green Financing.
Misalnya, sertifikasi yang memakan biaya mahal bagi perusahaan dan pemberian insentif kepada nasabah yang dapat memberatkan para bank.
Vice Preside Financial Institutions Group Bank BCA, Amelia Susanto, juga mengungkapkan bahwa penerapan ini tergantung pada perusahaan dan pihak yang mendukungnya.
Dari segi perusahaan, harus disesuaikan dengan internal perusahaan dan bisnis. Di sisi lain, dari segi pemerintah perlu didukung dari kebijakan pemerintah dan tren global.
Solusi dalam Mengatasi Tantangan Green Financing
Terdapat beberapa solusi yang dapat dilakukan dalam mengatasi tantangan tersebut, yakni:
1. Taksonomi Hijau
OJK bersama dengan delapan kementerian telah menyelesaikan Taksonomi Hijau Edisi 1.0, pada edisi ini nantinya masih dapat dikembangkan lagi dalam mengatasi tantangan-tantangan yang akan dihadapi.
Taksonomi Hijau disusun dengan lima skala untuk menentukan sertifikasi yang diperlukan supaya sektor atau subsektor dapat dikatakan sebagai sektor hijau.
Taksonomi Hijau menggolongkan kegiatan usaha menjadi tiga, yakni:
- Kategori Hijau
Kegiatan usaha dalam melindungi, memperbaiki, dan meningkatkan kualitas terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta memitigasi dan mengadaptasi perubahan iklim.
Selain itu, kegiatan usaha ini juga melingkupi pematuhan standar tata kelola yang ditetapkan pemerintah dan mengimplementasikan praktik terbaik pada level nasional atau internasional. - Kategori Kuning
Kegiatan usaha yang telah memenuhi kriteria pada batas hijau, penentuan ini dilakukan terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang harus ditetapkan berdasarkan pengurukuran dan dukungan praktik terbaik. - Kategori Merah
Kegiatan usaha yang tidak memenuhi kriteria pada kategori kuning ataupun hijau.
Dengan pembagian kategori, diharapkan dapat mengubungkan antara masing-masing kegiatan serta memberikan informasi cukup bagi stakeholders dalam menyusun kebijakan, terutama pada proses pembiayaan atau investasi sektor hijau.
2. Pelaporan dan Standardisasi Keuangan yang Lebih Hijau
OJK bersama dengan Bank Indonesia sedang mengembangkan pelaporan keuangan yang lebih hijau, Laporan bulanan lembaga keuangan diharapkan telah menghubungkan kepada Green Financing.
Upaya ini penting untuk dilakukan karena pada skala global sedang menjadi isu yang penting terkait risk management framework climate finance.
Selain pelaporan, standardisasi petunjuk teknik dan petunjuk pelaksanaan juga diperlukan sebagai pegangan terhadap perbankan untuk menyalurkan Green Financing.
3. Edukasi Oleh Stakeholders
Salah satu bank di Indonesia, yakni Bank Mandiri telah berupaya untuk mengedukasi para nasabah korporasinya dalam hal visi Indonesia terkait ekonomi karbon rendah.
4. Meningkatkan Skema Insentif
Upaya ini sebagai bentuk untuk meningkatkan kesadaran kepada berbagai pihak yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan pelaku usaha itu sendiri.
Insentif finansial kepada pelaku industri dan konsumen dapat menaikkan tingkat praktik dari Green Financing serta dapat memperkuat komtitmen bank dalam mengimplementasikan hal ini.
Insentif tersebut dapat berupa kemudahan kebijakan serta apresiasi kepada bank yang telah menerapkan pembiayaan model ini. Apresiasi tersebut dapat mempengaruhi reputasi dan kredibilitas bank dengan baik.
Selain itu, dapat juga berupa diskon kupon pembelian bond, bunga pinjaman yang rendah, pemberian komisi untuk perbankan, dan penghapusan biaya transaksi.
5. Menggencarkan Upaya dari Pemerintah
Berjalan bersama dengan pemerintah dapat menciptakan inisiatif secara proaktif governance yang dapat dilakukan oleh masing-masing institusi sehingga dapat menyebarluaskan dan memberikan pendalaman terkait Green Financing di Indonesia.
Belum jelasnya standardisasi karbon di perbankan dan pemahaman yang kurang terhadap Green Financing perlu dibantu oleh pemerintah, termasuk para regulator untuk memudahkan bank ketika melakukan pembiayaan atau evaluasi risiko kredit kepada para nasabahnya.
Kebijakan yang disusun tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesadaran publik dan insenstid atau disinsentif kepada perbankan sehingga dapat menaikkan jumlah pembiayaan pada Green Financing. Pemerintah juga dapat menggencarkannya dengan insentif pajak.
6. Melakukan Kemitraan Strategis
Kemitraan strategis dapat dilakukan bersama dengan organisasi lingkungan, pemerintah, dan stakeholders lainnya untuk meningkatkan pelaksanaan Green Financing.
Dengan kemitraan strategis dapat mendukung proses identifikasi peluang, mengurangi risiko, serta menggencarkan Green Financing.
Sah! Menyediakan layanan berupa jasa legalitas usaha sehingga tidak perlu khawatir dalam menjalankan usahanya di bidang apapun, termasuk perusahaan pada sektor lingkungan.
Untuk yang hendak mendirikan suatu usaha dapat berkonsultasi dengan menghubungi WA 085173007406 atau mengunjungi laman sah.co.id
Source:
https://infobanknews.com/ini-tantangan-pembiayaan-hijau-menurut-ojk/
https://www.antaranews.com/berita/3810354/bank-mandiri-ungkap-tantangan-kredit-sektor-hijau
https://www.djppr.kemenkeu.go.id/greenfinancing,sukuknegaradanpembangunanberkelanjutan