Berita Hukum Legalitas Terbaru
Hukum  

Upaya Paksa Penangkapan Oleh Penyidik BNN Dan Polri Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika

man sitting on chair covering his eyes

Sah! – Dampak Perbedaan Regulasi Kewenangan Upaya Paksa Oleh Penyidik BNN dan Polri

Tindakan penyidik untuk mengekang tersangka dalam waktu sementara diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup disebut dengan penangkapan. 

Penangkapan ini sebagai salah satu bentuk kewenangan penyidik dari upaya paksa. 

Penyidik dalam Pasal 1 butir 1 KUHAP dapat dimaknai sebagai pejabat Polisi Republik Indonesia (POLRI) pada pangkat tertentu yaitu perwira sampai pangkat jenderal polisi dan juga pejabat pegawai negeri sipil tertentu.

Mulai dari pangkat IIA yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Adapun contoh dari pejabat PNS yang dapat melakukan penyidikan sebagai berikut: Kementrian Perhubungan/ Dinas Perhubungan di tingkat provinsi yang diatur dalam UU LLAJ/ Lalu Lintas, Kementrian Kehutanan yang diatur dalam UU Kehutanan.

Kemudian Pejabat BNN diatur dalam UU Narkotika, Bea Cukai, Dirjen Pajak, dan sebagainya yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. 

Anggota POLRI yang memiliki wewenang sebagai penyidik juga memiliki wewenang sebagai penyelidik karena syarat kepangkatannya memenuhi namu penyelidik POLRI yang pangkat rendah tidak dapat menjadi penyidik. 

Selain itu, menjadi seorang penyidik memiliki persyaratan yang diatur dalam PP No. 58 Tahun 2010 tentang pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Syaratnya tidak hanya harus menjadi POLISI pangkat perwira dengan minimal pangkat Inspektur polisi dua tetapi kemudian harus berpendidikan Sarjana Hukum.

Makna Penangkapan dalam Kewenangan Penyidik

Meninjau Pasal 1 butir 20 KUHAP dapat ditafsirkan bahwa penangkapan merupakan tindakan penyidik untuk mengekang sementara waktu terkait kebebasan seorang terdakwa  atau tersangka

Dengan cukup bukti untuk kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan sesuai tata cara yang diatur dalam KUHAP. 

Penyidik yang memiliki wewenang terkait permasalahan tindak pidana narkotika yang diteliti dalam penelitian ini yakni pejabat POLRI dan Pejabat PNS yang dapat ditunjuk secara khusus oleh undang- undang.

Hal ini yakni diatur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika adalah BNN atau Badan Narkotika Nasional. 

Dalam menjalankan kewenangannya untuk melakukan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana narkotika, POLRI dan BNN memiliki perbedaan yang mendasar yakni dalam hal pengaturan jangka waktu penangkapan. 

Dapat dilihat bahwa dalam KUHAP jangka waktu penangkapan dilakukan dalam jangka waktu 1 hari saja tidak adanya perpanjangan waktu lagi hanya 1 x 24 jam saja. 

Apabila melebihi 1 x 24 jam maka hal tersebut melanggar hak tersangka karena terjadi pelanggaran hukum sehingga penangkapan yang lebih dari 1 hari akan dianggap tidak sah dengan konsekuensi tersangka harus dibebaskan demi hukum. 

Penangkaapan waktu yang relatif singkat menyebabkan tantangan tersendiri bagi penyidik Polri untuk menentukan seseorang yang diduga pelaku tindak pidana bisa atau tidak prosesnya dilanjutkan 

Atau justru pelaku tindak pidana narkotika dilepaskan karena tidak terpenuhinya bukti permulaan seperti yang ditetapkan dalam KUHAP Pasal 1 angka 14. 

Berbeda halnya dalam UU Narkotika Pasal 76 mengatur kewenangan jangka waktu penangkapan yang dimiliki penyidik pejabat BNN. 

Terdapat 19 Kewenangan BNN dalam Pasal 75 UU Narkotika salah satu kewenangannya dalam huruf g yakni BNN memiliki wewenang untuk menangkap serta menahan pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan precursor narkotika.

 Kewenangan BNN terkait penangkapan yang diatur dalam Pasal 75 tersebut hanya dilakukan maksimal selama 6 x 24 jam sudah termasuk waktu perpanjangan penangkapan. 

Penangkapan yang diperpanjang sebanyak 2 kali sehingga menjadi 6x 24 jam hanya dimiliki oleh penyidik BNN saja tidak berlaku untuk penyidik Polri walaupun kewenangan penangkapan dimiliki oleh BNN dan Polri terkait tindak pidana narkotika. 

Hal itu diatur dalam Pasal 84 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yakni penyidik pegawai PNS tertentu berkoordinasi dengan penyidik BNN atau Polri sesuai dengan KUHAP dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana narkotika.

Kewenangan penangkapan yang dimiliki oleh Polri tetap mengacu kepada asal 19 ayat (1) KUHAP yakni maksimal 1 x 24 jam.

Perbedaan jangka waktu penangkapan antara penyidik BNN dan Polri menyebabkan terjadinya problematika hukum untuk menentukan penggunaan dasar hukum penangkapan tindak pidana narkotika.

Implikasinya akan menyebabkan perbedaan implementasi upaya paksa penangkapan bagi pelaku tindak pidana narkotika antara penyidik BNN dan Polri. 

Hal tersebut akan berimbas juga kepada memicu adanya ketidakpastian hukum dan prinsip persamaan perlakuan di mata hukum. 

Implementasi Penangkapan Pelaku Narkotika

Praktik implementasinya justru terjadi banyak ketimpangan yang menangkap pelaku narkotika hingga 6 hari atau lebih dari 1 hari yang dilakukan oleh penyidik Polri. Adapun contohnya dapat dipaparkan sebagai berikut:

1. Kasus penangkapan Ibrahim tanggal 17 November 2017

Ibrahim dan kuasa hukumnya mengajukan upaya Pra Peradilan dengan dalih upaya penangkapan yang dilakukan kepadanya tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. 

Ibrahim ditangkap oleh penyidik Polri sejak tanggal 17 November 2017 lalu dikeluarkan surat untuk ditahan tanggal 20 November 2017. 

Hal itu tentu telah melanggar ketentuan dalam Pasal 19 ayat (1) KUHAP yang memberikan kewenangan kepada penyidik Polri untuk melakukan upaya penangkapan maksimal selama 1x 24 jam. 

Implikasinya penangkapan tersebut dianggap tidak sah dan tersangka tindak pidana narkotika dibebaskan demi hukum.

2. Kasus penangkapan Andi Arif tanggal 3 Maret 2019

Politisi Andi Arif ditangkap oleh penyidik Polri dikamar Hotel Peninsula Jakarta Barat selama 3 x 24 jam. 

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan bahwa penyidik Polri menetapkan status Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Andi Arif dalam waktu 3 x 24 jam termasuk kasus penyalahgunaan narkoba.

Pelaksanaaan upaya paksa penangkapan oleh penyidik BNN dan Polri yang tidak konsisten sehingga tidak tegas dalam menentukan dasar hukumnya untuk menjalankan kewenangan upaya paksa. 

Implikasi dari perbedaan kewenangan dalam regulasi dapat dipaparkan sebagai berikut: 

timbulnya ketidakpastian hukum kedua lembaga yang berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yaitu BNN dan Kepolisian Negara Republik Indonesia menggunakan dasar hukum batas waktu penangkapan yang berbeda.

Kemudian, adanya ketidakkonsistenan dari aparat penegak hukum untuk menegakkan hukum sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku baik dari BNN ataupun Polri.

Adanya ketidaktegasan dari aparat penegak hukum untuk menentukan penggunaan dasar hukum sebagai aturan pelaksaan dari suatu hukum, Adanya ketidakjelasan dari para penegak hukum untuk memberikan keadilan bagi tersangka tindak pidana narkotika.

Kunjungi laman berita hukum terpilih yang disajikan melalui website Sah.co.id. Baca berita terbaru lainnya dan kunjungi juga website Sah.co.id atau bisa hubungi WA 0856 2160 034 untuk informasi pengurusan legalitas usaha serta pembuatan izin HAKI termasuk pendaftaran hak cipta. Sehingga, tidak perlu khawatir dalam menjalankan aktivitas lembaga/usaha

Source:

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Suherman, Asep. “Penangkapan Sebagai Bentuk Upaya Paksa Penegakan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”. Jurnal Penelitian Hukum 29, No. 1 (2020): 34.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Rahman, Kholilur. “Problem Pengaturan Upaya Paksa Penangkapan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika”. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 27, No.3 (2020): 494.

Sudanto, Anton. “Penerapan Hukum Pidana Narkotika di Indonesia”. ADIL: Jurnal Hukum 7, No.1: 155.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *