Sah! – Dalam sejarah penegakan hukum di seluruh dunia, terdapat banyak adagium yang menjadi landasan moral dan etika bagi para penegak hukum.
Salah satu adagium paling terkenal adalah “Fiat justitia ruat caelum,” yang dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan sebagai “Tegakkan hukum walau langit runtuh.”
Ungkapan ini menyiratkan sebuah pesan yang sangat mendalam dan universal: keadilan harus ditegakkan tanpa kompromi, terlepas dari segala konsekuensi yang mungkin terjadi.
Adagium ini, yang pada dasarnya merupakan panggilan bagi integritas dan keberanian, menjadi sangat relevan dalam konteks penegakan hukum di Indonesia, terutama di tengah berbagai tantangan yang dihadapi saat ini.
Makna Filosofis: Hukum Sebagai Pilar Utama Keadilan
Makna filosofis dari adagium “Tegakkan hukum walau langit runtuh” adalah penegasan bahwa hukum harus ditegakkan secara absolut, tanpa pengecualian atau kompromi. Hukum dianggap sebagai pilar utama yang mendukung bangunan masyarakat yang adil dan beradab.
Dalam pengertian ini, hukum bukan hanya seperangkat aturan yang mengatur perilaku manusia, tetapi juga manifestasi dari nilai-nilai keadilan yang harus dilindungi dan ditegakkan.
Adagium ini berasal dari konsep hukum alam yang dikembangkan oleh para filsuf seperti Cicero dan kemudian diperkuat oleh para pemikir hukum pada abad pertengahan dan Renaisans.
Cicero, misalnya, menyatakan bahwa hukum adalah cerminan dari keadilan yang abadi dan universal, yang harus ditegakkan tanpa memandang situasi atau konsekuensi yang mungkin terjadi. Dalam pandangan ini, keadilan adalah nilai tertinggi yang harus dilindungi, bahkan jika itu berarti menantang otoritas atau menghadapi bencana.
Namun, adagium ini juga memiliki implikasi moral yang mendalam. Ia menuntut para penegak hukum untuk memiliki keberanian moral dalam menjalankan tugas mereka.
Ketika seorang hakim, jaksa, atau pengacara dihadapkan pada kasus yang sulit, adagium ini mengingatkan mereka bahwa tugas utama mereka adalah menegakkan hukum dan keadilan, meskipun itu berarti menghadapi risiko pribadi atau publik.
Integritas dalam penegakan hukum menjadi nilai yang tak terpisahkan dari konsep keadilan itu sendiri.
Penegakan Hukum di Indonesia: Studi Kasus dan Relevansi Adagium
Dalam konteks Indonesia, adagium “Tegakkan hukum walau langit runtuh” memiliki relevansi yang sangat tinggi, terutama di tengah dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks.
Indonesia sebagai negara hukum menghadapi banyak tantangan dalam menegakkan prinsip-prinsip keadilan, baik dalam kasus-kasus besar yang melibatkan kekuasaan dan politik maupun dalam kasus-kasus yang melibatkan hak-hak dasar warga negara.
Kasus Korupsi dan Keadilan
Salah satu contoh paling nyata di mana adagium ini diuji adalah dalam penanganan kasus korupsi. Korupsi di Indonesia telah menjadi salah satu isu yang paling serius dan berdampak luas, merusak sistem pemerintahan, memperlemah ekonomi, dan menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi hukum.
Dalam kasus-kasus besar seperti skandal Bank Century, e-KTP, dan BLBI, adagium “Tegakkan hukum walau langit runtuh” menjadi ujian bagi keberanian dan integritas penegak hukum.
Dalam beberapa kasus, kita telah melihat upaya yang sungguh-sungguh dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lembaga peradilan untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Misalnya, meskipun menghadapi tekanan politik yang besar, KPK berhasil mengusut dan memproses sejumlah pejabat tinggi, termasuk anggota DPR dan menteri, dalam kasus korupsi e-KTP. Meskipun demikian, tantangan besar tetap ada, terutama dalam hal intervensi politik dan tekanan publik yang bisa menghambat penegakan hukum yang adil.
Namun, keberhasilan KPK dan lembaga peradilan lainnya dalam menegakkan hukum meskipun ada tekanan menunjukkan bahwa adagium “Tegakkan hukum walau langit runtuh” bukan hanya sebuah idealisme, tetapi sebuah prinsip yang bisa diterapkan dalam praktik.
Ketika hukum ditegakkan dengan tegas, tanpa kompromi terhadap tekanan politik atau ekonomi, hasilnya adalah penguatan sistem hukum dan peningkatan kepercayaan publik terhadap keadilan.
Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM)
Selain dalam kasus korupsi, adagium ini juga sangat relevan dalam penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia telah menghadapi banyak kasus pelanggaran HAM yang serius, termasuk di masa lalu seperti peristiwa 1965, penembakan Trisakti, dan kerusuhan Mei 1998.
Penegakan hukum dalam kasus-kasus ini sering kali diwarnai oleh tekanan politik dan sosial yang sangat besar, sehingga penegak hukum dihadapkan pada dilema antara menegakkan hukum secara adil dan menghadapi konsekuensi yang mungkin berbahaya.
Salah satu contoh yang dapat dikaji adalah proses hukum terhadap pelaku pelanggaran HAM berat di Timor Timur pada tahun 1999.
Meskipun tekanan internasional dan domestik untuk menuntut para pelaku sangat kuat, proses hukum yang dilakukan banyak mendapatkan kritik karena dianggap tidak memberikan keadilan yang seharusnya bagi para korban.
Adagium “Tegakkan hukum walau langit runtuh” seolah-olah menjadi sekadar kata-kata ketika tekanan politik lebih dominan daripada komitmen untuk menegakkan keadilan.
Namun, pelajaran dari kasus ini adalah bahwa kegagalan dalam menegakkan hukum secara adil hanya akan memperpanjang siklus ketidakadilan dan ketidakpuasan publik.
Sebaliknya, jika hukum ditegakkan dengan tegas dan adil, meskipun menghadapi tekanan yang besar, masyarakat akan melihat bahwa hukum benar-benar berfungsi sebagai pelindung hak-hak mereka.
Tantangan dalam Menerapkan Prinsip “Tegakkan Hukum Walau Langit Runtuh”
Meskipun prinsip “Tegakkan hukum walau langit runtuh” adalah ideal yang harus dijunjung tinggi, kenyataannya penerapan prinsip ini di lapangan sering kali menghadapi banyak hambatan.
Beberapa tantangan utama yang sering dihadapi dalam penegakan hukum di Indonesia antara lain adalah tekanan politik, tekanan ekonomi, dan tekanan sosial.
Tekanan Politik
Tekanan politik adalah salah satu hambatan terbesar dalam penegakan hukum yang adil di Indonesia. Dalam banyak kasus, penegak hukum dihadapkan pada dilema antara menjalankan tugas mereka secara profesional dan menghadapi tekanan dari pihak-pihak yang memiliki kekuasaan politik.
Misalnya, dalam kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi atau partai politik, penegak hukum sering kali dihadapkan pada tekanan untuk menunda atau bahkan menghentikan proses hukum.
Namun, sejarah menunjukkan bahwa ketika penegak hukum berani menegakkan hukum meskipun ada tekanan politik, hasilnya adalah peningkatan kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan penguatan demokrasi.
Salah satu contoh yang dapat diambil adalah kasus korupsi yang melibatkan mantan Ketua DPR Setya Novanto.
Meskipun menghadapi tekanan politik yang besar, KPK berhasil membawa kasus ini ke pengadilan dan Setya Novanto akhirnya dijatuhi hukuman penjara. Ini menunjukkan bahwa penegakan hukum yang tegas dan adil dapat memberikan dampak positif yang signifikan.
Tekanan Ekonomi
Tekanan ekonomi juga sering menjadi hambatan dalam penegakan hukum di Indonesia. Dalam banyak kasus, kepentingan ekonomi yang kuat dapat mempengaruhi proses hukum, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan perusahaan besar atau proyek infrastruktur yang penting.
Tekanan ini bisa datang dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan finansial dalam hasil dari suatu kasus hukum.
Namun, penting untuk diingat bahwa keadilan tidak boleh dikompromikan demi kepentingan ekonomi jangka pendek. Penegak hukum harus berani menegakkan hukum meskipun ada risiko terhadap stabilitas ekonomi atau dampak negatif lainnya.
Sebagai contoh, dalam kasus-kasus lingkungan yang melibatkan perusahaan besar, penegak hukum harus menegakkan aturan yang ada tanpa memandang potensi kerugian ekonomi, karena pada akhirnya, pelanggaran hukum lingkungan akan merugikan masyarakat dan negara dalam jangka panjang.
Tekanan Sosial
Selain tekanan politik dan ekonomi, tekanan sosial juga merupakan tantangan yang sering dihadapi dalam penegakan hukum. Dalam masyarakat yang pluralistik seperti Indonesia, di mana terdapat banyak kelompok dengan kepentingan dan nilai yang berbeda, penegakan hukum yang adil bisa menjadi sangat rumit.
Tekanan dari kelompok-kelompok ini bisa mempengaruhi proses hukum, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan isu-isu sensitif seperti agama, etnisitas, atau hak-hak minoritas.
Namun, adagium “Tegakkan hukum walau langit runtuh” menuntut agar penegak hukum tetap teguh pada prinsip-prinsip keadilan, meskipun menghadapi tekanan sosial yang besar. Penegakan hukum yang adil dan tidak memihak adalah kunci untuk menjaga keharmonisan sosial dan menghindari konflik yang lebih besar.
Sebagai contoh, dalam kasus-kasus yang melibatkan konflik antar-kelompok, penegak hukum harus bersikap netral dan menegakkan hukum berdasarkan fakta dan aturan yang ada, tanpa terpengaruh oleh tekanan dari kelompok tertentu.
Pentingnya Integritas dan Keberanian dalam Penegakan Hukum
Untuk menerapkan prinsip “Tegakkan hukum walau langit runtuh,” diperlukan integritas dan keberanian yang tinggi dari para penegak hukum.
Integritas berarti komitmen untuk selalu bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, tanpa tergoda oleh kepentingan pribadi atau tekanan eksternal. Keberanian berarti kemampuan untuk mengambil keputusan yang benar secara hukum, meskipun itu berarti menghadapi risiko atau konsekuensi yang berat.
Di Indonesia, integritas dan keberanian ini sering kali diuji dalam kasus-kasus besar yang melibatkan kepentingan politik atau ekonomi yang kuat.
Namun, sejarah juga menunjukkan bahwa ketika penegak hukum memiliki integritas dan keberanian, mereka dapat membuat perubahan yang signifikan dalam sistem hukum dan masyarakat.
Sebagai contoh, keberhasilan KPK dalam menangani kasus-kasus korupsi besar adalah hasil dari integritas dan keberanian para penyidik dan jaksa yang berani menegakkan hukum meskipun menghadapi ancaman dan tekanan yang besar.
Integritas dan keberanian ini juga harus didukung oleh sistem yang transparan dan akuntabel. Tanpa transparansi dan akuntabilitas, integritas dan keberanian para penegak hukum bisa saja disalahgunakan atau tidak dihargai.
Oleh karena itu, reformasi sistem hukum yang bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas adalah langkah penting untuk memastikan bahwa prinsip “Tegakkan hukum walau langit runtuh” dapat diterapkan secara konsisten.
Kesimpulan: Menuju Penegakan Hukum yang Adil dan Berkeadilan
Adagium “Tegakkan hukum walau langit runtuh” adalah prinsip fundamental yang harus dijunjung tinggi oleh setiap penegak hukum di Indonesia.
Dalam konteks penegakan hukum yang adil, adagium ini menuntut integritas dan keberanian dari para penegak hukum, serta komitmen untuk menegakkan keadilan tanpa kompromi, terlepas dari tekanan politik, ekonomi, atau sosial.
Dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada, penerapan prinsip ini tidak hanya akan memperkuat sistem hukum di Indonesia, tetapi juga akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap keadilan dan ketertiban.
Dengan menegakkan hukum secara adil dan tegas, meskipun menghadapi risiko atau konsekuensi yang berat, kita dapat membangun masyarakat yang lebih baik, lebih adil, dan lebih berkeadilan.
Oleh karena itu, mari kita junjung tinggi prinsip “Tegakkan hukum walau langit runtuh” dalam setiap aspek penegakan hukum, demi terciptanya Indonesia yang lebih adil dan bermartabat.
Kunjungi laman sah.co.id dan instagram @sahcoid untuk informasi menarik lainnya