Sah! – Jual beli merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Melalui proses ini, seseorang dapat memperoleh barang atau jasa yang tidak bisa dipenuhinya sendiri.
Akan tetapi, agar transaksi tersebut memiliki kekuatan hukum, diperlukan syarat-syarat tertentu. Lalu, bagaimana kedudukan jual beli jika dilakukan oleh anak yang masih di bawah umur?
Pandangan Hukum Islam
Dalam Islam, jual beli diatur secara detail dengan tujuan memberikan kemanfaatan sekaligus keberkahan bagi kedua belah pihak. Salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah kecakapan dari para pihak yang bertransaksi, yakni mereka yang sudah merdeka, baligh, berakal sehat, dan mampu mengelola harta dengan baik (rasyid).
Berdasarkan kriteria tersebut, anak kecil belum termasuk pihak yang cakap untuk melakukan transaksi, sehingga jual belinya dipandang tidak sah. Landasan ini antara lain merujuk pada Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 6 yang menekankan pentingnya kematangan akal dan kemampuan dalam mengatur harta.
Namun, para ulama memiliki perbedaan pendapat terkait anak yang sudah mencapai usia mumayyiz, yakni mampu membedakan hal yang baik dan buruk. Ada yang berpendapat transaksi tetap tidak sah meskipun dengan izin wali, ada pula yang memperbolehkan jika wali memberikan izin, bahkan ada yang membolehkan tanpa izin. Kendati demikian, pendapat yang lebih hati-hati adalah transaksi anak hanya dianggap sah apabila diwakili oleh wali, untuk mencegah adanya kerugian.
Pandangan Hukum Positif di Indonesia
Berbeda dengan hukum Islam, sistem hukum di Indonesia merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pasal 1320 KUHPerdata menegaskan bahwa sahnya suatu perjanjian harus memenuhi syarat subjektif dan objektif. Syarat subjektif meliputi adanya kesepakatan para pihak serta kecakapan untuk membuat perjanjian. Menurut Pasal 330 KUHPerdata, seseorang baru dianggap dewasa atau cakap hukum setelah berusia 21 tahun.
Dengan demikian, anak di bawah umur yang melakukan transaksi, termasuk jual beli secara online, belum memenuhi syarat kecakapan hukum. Akibatnya, perjanjian yang dibuat berstatus “dapat dibatalkan”. Artinya, perjanjian tersebut tidak otomatis batal, tetapi pihak yang merasa dirugikan berhak mengajukan pembatalan ke pengadilan. Jika tidak ada yang menggugat, maka perjanjian tetap berjalan dan sah menurut hukum.
Kesimpulan
Baik dalam perspektif Islam maupun hukum positif, anak di bawah umur pada dasarnya belum dianggap cakap untuk melakukan transaksi jual beli secara mandiri. Dalam Islam, keberadaan wali menjadi syarat utama sahnya jual beli, sedangkan dalam hukum Indonesia, perjanjian tetap berlaku namun rentan untuk dibatalkan.
Oleh karena itu, peran orang tua sangat penting dalam mengawasi aktivitas jual beli anak, terutama di era digital saat ini. Pengawasan yang baik akan membantu memastikan bahwa transaksi yang dilakukan tetap memberi manfaat tanpa menimbulkan kerugian di kemudian hari.
Seluruh informasi hukum yang ada di artikel ini disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum. Bagi kamu yang ingin mendirikan usaha atau mengurus perizinan, silakan hubungi WhatsApp 0856 2160 034 atau kunjungi website Sah.co.id.
