Sah! – Penggunaan influencer untuk promosi bisnis telah menjadi salah satu strategi pemasaran yang populer di era digital.
Influencer marketing memungkinkan bisnis menjangkau audiens yang luas melalui platform media sosial seperti Instagram, YouTube, TikTok, dan lainnya.
Namun, penggunaan influencer tidak lepas dari risiko hukum dan kepatuhan yang harus diperhatikan oleh bisnis.
Kegagalan mematuhi peraturan yang berlaku dapat mengakibatkan sanksi hukum, denda, hingga reputasi perusahaan yang rusak.
Artikel ini akan membahas berbagai risiko hukum dan kepatuhan yang terkait dengan penggunaan influencer, serta langkah-langkah untuk memastikan bahwa kampanye pemasaran mematuhi hukum yang berlaku.
1. Pengungkapan Konten Berbayar (Disclosure of Sponsored Content)
Salah satu masalah hukum utama dalam influencer marketing adalah kewajiban untuk mengungkapkan bahwa konten yang dibuat adalah berbayar atau bersponsor. Banyak negara, termasuk Indonesia, memiliki peraturan yang mengharuskan transparansi dalam hal ini.
- Di Indonesia, kewajiban ini diatur oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen serta regulasi dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) yang mengatur tentang transparansi dalam perdagangan berjangka.
- Di Amerika Serikat, Federal Trade Commission (FTC) mewajibkan influencer untuk mengungkapkan konten berbayar secara jelas kepada audiens, misalnya dengan menambahkan tagar seperti #ad, #sponsored, atau pengungkapan eksplisit bahwa produk yang ditampilkan merupakan bagian dari promosi berbayar.
Jika influencer tidak mengungkapkan bahwa mereka dibayar untuk mempromosikan suatu produk, bisnis dapat menghadapi masalah hukum karena dianggap menyesatkan konsumen. Kurangnya transparansi ini bisa berujung pada denda dari otoritas pengawas atau bahkan tuntutan hukum dari konsumen.
2. Kepatuhan terhadap Peraturan Iklan
Dalam promosi produk atau jasa, bisnis dan influencer harus memastikan bahwa konten iklan tidak menyesatkan atau mengandung klaim palsu. Hal ini sangat penting terutama dalam industri yang diatur secara ketat, seperti kesehatan, kecantikan, dan makanan.
- Misalnya, jika influencer mempromosikan produk kesehatan atau kecantikan, klaim yang dibuat mengenai efektivitas produk harus berdasarkan fakta yang dapat dibuktikan. Promosi berlebihan atau tidak jujur, seperti klaim bahwa suatu produk dapat menyembuhkan penyakit tertentu tanpa bukti ilmiah yang memadai, dapat dianggap melanggar hukum perlindungan konsumen.
Di Indonesia, hal ini diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang melarang promosi atau iklan yang memberikan informasi menyesatkan. Selain itu, Peraturan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) juga mengatur iklan produk makanan, kosmetik, dan obat-obatan agar tidak mengandung klaim kesehatan yang tidak dapat dibuktikan.
3. Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
Penggunaan konten berlisensi, seperti musik, gambar, atau video yang dilindungi hak cipta, dalam kampanye influencer marketing juga harus diperhatikan.
Jika influencer menggunakan materi berhak cipta tanpa izin, baik dari pihak ketiga maupun dari bisnis yang bekerja sama dengan mereka, ini dapat menyebabkan tuntutan pelanggaran hak cipta.
Misalnya, seorang influencer yang menggunakan musik berhak cipta tanpa lisensi dalam video promosi produk dapat dituntut oleh pemilik hak cipta musik tersebut.
Oleh karena itu, penting bagi bisnis dan influencer untuk memastikan bahwa konten yang digunakan dalam kampanye sudah mendapat lisensi atau izin yang sesuai.
4. Ketentuan Kontrak antara Bisnis dan Influencer
Dalam hubungan antara bisnis dan influencer, kontrak tertulis yang jelas sangat penting. Kontrak harus memuat syarat dan ketentuan terkait pembayaran, durasi kampanye, hak penggunaan konten, dan tanggung jawab hukum. Hal ini untuk melindungi kedua belah pihak dari sengketa di kemudian hari.
Beberapa elemen penting yang perlu dimasukkan dalam kontrak influencer adalah:
- Kewajiban pengungkapan: Influencer harus setuju untuk mengungkapkan dengan jelas bahwa konten mereka bersponsor.
- Kepatuhan hukum: Influencer wajib mematuhi semua peraturan yang relevan dalam pembuatan dan distribusi konten.
- Hak cipta dan lisensi: Pengaturan tentang siapa yang memiliki hak atas konten yang dihasilkan selama kampanye, termasuk hak penggunaan ulang oleh bisnis.
- Kewajiban menjaga reputasi: Influencer tidak boleh terlibat dalam perilaku yang merugikan citra atau reputasi bisnis selama dan setelah kampanye.
Tanpa kontrak yang jelas, bisnis bisa menghadapi masalah hukum, termasuk kesulitan menegakkan kewajiban pengungkapan atau masalah terkait dengan hak atas konten yang dihasilkan.
5. Perlindungan Data Pribadi
Perlindungan data pribadi juga menjadi perhatian utama dalam influencer marketing, terutama jika kampanye tersebut melibatkan pengumpulan data dari audiens atau pengikut influencer.
Di Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang baru-baru ini disahkan mengatur penggunaan, penyimpanan, dan pengungkapan data pribadi.
Bisnis harus memastikan bahwa mereka mematuhi aturan ini ketika mengelola data audiens yang diperoleh dari kampanye influencer.
Misalnya, jika kampanye memerlukan pengumpulan data kontak dari pengikut influencer untuk mengikuti giveaway, bisnis harus memastikan bahwa data tersebut diolah sesuai dengan peraturan yang berlaku, termasuk meminta persetujuan pengguna dan menjelaskan tujuan penggunaan data tersebut.
6. Sanksi Hukum dan Reputasi Bisnis
Sanksi hukum akibat pelanggaran dalam kampanye influencer marketing dapat berupa denda finansial, tuntutan hukum, atau penarikan produk dari pasar.
Selain itu, dampak negatif terhadap reputasi bisnis juga bisa menjadi risiko serius. Jika publik mengetahui bahwa bisnis terlibat dalam praktik iklan yang tidak etis atau menyesatkan, hal ini dapat mengurangi kepercayaan konsumen dan menurunkan citra merek.
Cara Mengelola Risiko Hukum dalam Penggunaan Influencer
Untuk meminimalkan risiko hukum dan kepatuhan, bisnis perlu mengambil beberapa langkah proaktif:
- Memilih Influencer dengan Bijak: Pastikan bahwa influencer memiliki rekam jejak yang baik, kredibel, dan tidak pernah terlibat dalam kontroversi yang dapat merusak reputasi bisnis.
- Menyusun Kontrak yang Jelas: Pastikan setiap aspek kerja sama, termasuk kewajiban hukum, hak cipta, dan kewajiban pengungkapan, tercantum dengan jelas dalam kontrak tertulis.
- Mematuhi Aturan Pengungkapan: Bersikap transparan dalam kampanye pemasaran dengan memastikan bahwa setiap konten berbayar diungkapkan secara jelas sesuai dengan peraturan yang berlaku.
- Memantau Konten: Bisnis harus memantau konten yang diproduksi oleh influencer untuk memastikan bahwa tidak ada pelanggaran hukum atau ketentuan kontrak.
- Konsultasi dengan Ahli Hukum: Konsultasi dengan ahli hukum, terutama dalam hal kekayaan intelektual dan perlindungan konsumen, dapat membantu bisnis memahami risiko hukum dan memastikan kepatuhan.
Kesimpulan
Penggunaan influencer untuk promosi bisnis dapat memberikan banyak manfaat, tetapi juga membawa risiko hukum yang perlu diperhatikan.
Untuk melindungi bisnis dari potensi masalah hukum, penting untuk memahami dan mematuhi peraturan terkait pengungkapan konten berbayar, hak kekayaan intelektual, dan perlindungan konsumen.
Dengan pendekatan yang tepat, risiko hukum dapat diminimalisir, sehingga kampanye influencer marketing dapat berjalan efektif dan sesuai aturan.
Kunjungi laman sah.co.id dan instagram @sahcoid untuk informasi menarik lainnya.
Jika membutuhkan konsultasi legalitas bisa klik tombol WhatsApp di kanan bawah atau melalui 0851 7300 7406
Sumber:
- Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
- Federal Trade Commission (FTC) Guidelines – https://www.ftc.gov.
- Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) – https://www.dgip.go.id.
- Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti)