Sah! – Dalam era digital yang terus berkembang pesat, industri layanan streaming telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari – hari, menyediakan akses mudah dan luas terhadap konten hiburan seperti film, serial televisi dan musik.
Di Indonesia, persaingan sengit antara platform besar seperti Netflix, Disney+, dan sejumlah layanan lokal lainnya menghadirkan dinamika yang menarik dalam ranah bisnis dan hukum.
Oleh karena itu mari kupas tuntas bersama dalam menjelajah berbagai aspek hukum yang mempengaruhi persaingan di sektor streaming, termasuk perlindungan hak cipta, regulasi penyiaran, hak konsumen serta tantangan dan peluang yang dihadapi di masa depan.
Perlindungan Hak Cipta dan Lisensi
Netflix dan Disney+ serta layanan streaming lainnya adalah layanan Over The Top (OTT) yang memfasilitasi pengiriman aplikasi dan konten melalui internet. Layanan OTT disediakan oleh pihak ketiga yang tidak berafiliasi dengan operator jaringan, sehingga konektivitas internet sangat penting untuk mengakses konten yang ditawarkannya.
Dalam konteks ini, penyedia layanan OTT menggunakan infrastruktur internet yang dapat diakses oleh publik untuk menyampaikan konten mereka. Kerangka ini diatur di dalam Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 3 Tahun 2016 tentang Penyediaan Aplikasi dan/atau Konten melalui Internet.
Perlindungan hukum diberlakukan oleh otoritas melalui badan hukum yang memiliki wewenang untuk menegakkan regulasi demi melindungi kepentingan individu.
Untuk mencapai tujuan perlindungan hukum, undang – undang dan peraturan harus adil dan tidak memihak.
Pasal 40 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 mengatur karya yang dilindungi, termasuk karya dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra seperti novel, gambar, patung, pertunjukan, siaran, program komputer, serta hak-hak terkait dengan Hak Cipta.
Perlindungan hukum terhadap hak cipta di setiap negara, termasuk di Indonesia mencakup konsep dasar sebagai berikut:
- Inspirasi atau pandangan asli yang telah diwujudkan diberikan perlindungan hak cipta. Hal ini mengacu pada karya yang jelas dan berbentuk serta bukan hasil dari replikasi
- Hak cipta diberikan secara otomatis ketika seorang penncipta menciptakan ide dalam bentuk yang jelas dan berbentuk.
- Karya yang diumumkan atau tidak umumkan dapat memperoleh perlindungan hak cipta
- Hak cipta adalah hak legal yang diakui oleh hukum, yang harus dipisahkan dari keberadaan fisik suatu karya
- Hak cipta bukanlah hak yang absolut. Jika suatu karya belum pasti merupakan salinan atau replika langsung dari karya sebelumnya, maka pencipta dapat menciptakan karya serupa tanpa melanggar hak cipta. Hak cipta atas karya di Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014, memberikan hak eksklusif kepada pencipta yang diberlakukan secara otomatis setelah karya tersebut diwujudkan dalam bentuk yang jelas, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Perlindungan hukum untuk mengatasi pelanggaran hak cipta terhadap karya film yang diunggah tanpa izin pada aplikasi layanan streaming legal diatur dalam Pasal 95 Ayat (1) Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014.
Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui mekanisme penanganan konflik, arbitrase, atau pengadilan, baik melalui litigasi maupun non-litigasi.
Selain Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undangg Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memberikan perlindungan terhadap hak cipta atas konten yang disusun menjadi ciptaan intelektual, termasuk film, yang diunggah melalui platform media sosial.
Pasal 25 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 mengatur bahwa setiap penggunaan konten melalui platform sosial yang melibatkan hak individu harus dilakukan dengan persetujuan atau izin dari pemilik hak tersebut.
Pasal tersebut memungkinkan individu yang hak ciptanya dilanggar untuk mengajukan klaim atas kerugian yang ditimbulkan, dan platform media sosial diwajibkan memberi dukungan dalam bentuk penghapusan atau penangguhan akun yang melanggar hak cipta.
Aspek Hukum Persaingan Usaha di Pasar Streaming
Persaingan usaha di pasar streaming yang semakin ketat antara Netflix, Disney+ dan layanan lainnya, membutuhkan perhatian khusus dari segi hukum untuk memastikan pasar tetap adil dan kompetitif.
Di Indonesia aspek hukum persaingan usaha diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Undang-undang ini menetapkan berbagai larangan, termasuk monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan persekongkolan.
Monopoli adalah penguasaan atas produksi atau pemasaran barang dan jasa yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Menurut Pasal 17 UU No.5 Tahun 1999, perusahaan dianggap memonopoli jika menguasai lebih dari 50% pangsa pasar.
Hal ini bisa terjadi jika Netflix menguasai sebagian besar pasar streaming di indonesia dan menghalangi layanan lainnya untuk masuk.
Sementara itu, monopsoni merupakan penguasaan penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang atau jasa dalam pasar yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.
Jika satu perusahaan, seperti Disney+ menguasai lebih dari 50% penerimaan pasokan, seperti hak distribusi konten tertentu maka akan dianggap monopsoni.
Penggunaan pasar melibatkan kontrol signifikan oleh satu atau beberapa pelaku usaha terhadap aktivitas pasar tertentu.
Aktivitas yang dilarang dalam konteks ini mencakup menolak atau menghalangi pelaku usaha lain untuk masuk ke pasar, menghalangi konsumen untuk bertransaksi dengan pesaing dan membatasi peredaran barang dan jasa untuk mengendalikan harga.
Sebagai contoh konkret, apabila Disney+ menggunakan pengaruhnya untuk menghalangi distributor lokal dalam menyediakan konten kepada pesaingnya, hal ini melanggar aturan penguasaan pasar.
Persekongkolan mengacu pada kolusi antara pelaku usaha untuk menentukan pemenang tender atau memperoleh informasi rahasia bisnis pesaing.
Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999 melarang segala bentuk persekongkolan yang mengurangi transparansi dan keadilan di pasar. Dalam konteks streaming, jika netflix dan Disney+ bersekongkol untuk menetapkan harga atau membagi pasar secara rahasia ini akan menjadi pelanggaran hukum.
Hukum persaingan juga bertujuan melindungi konsumen dengan memastikan mereka memiliki akses ke berbagai pilihan layanan berkualitas dengan harga wajar. Hal ini bearti meskipun perusahaan besar menawarkan konten eksklusif, mereka harus melalukannya tanpa menghalangi kompetitor baru untuk masuk ke pasar.
Di pasar streaming, perusahaan besar harus berhati-hati agar tidak melanggar UU No.5 Tahun 1999. Persaingan ketat menuntut inovasi konten dan strategi pemasaran yang adil tanpa memonopoli pasar atau bersekongkol dengan pihak lain.
Hal ini dilakukan dengan menetapkan harga berlangganan yang sangat rendah untuk mengusir pesaing dapat dianggap sebagai praktik predatory pricing dan melanggar hukum.
Dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 memperkuat sanksi bagi pelanggar, termasuk penambahan denda dan hukuman penjara yang lebih berat, di dalam UU ini juga memperkenalkan prosedur pelaporan pelanggaran dan perlindungan bagi pelapor serta meningkatkan transparansi dan penegakan hukum di sektor ini.
Sebagai pelaku usaha di era digital, menjadi penting untuk memahami dan memathui regulasi persaingan usaha yang berlaku. Persaingan yang sehat dan adil tidak hanya untuk melindungi bisnis tetapi juga memastikan konsumen mendapat layanan terbaik.
Sah! Indonesia hadir sebagai mitra terpercaya untuk semua kebutuhan legalitas usaha dan konsultasi hukum bisnis Anda, segera kunjungi website Sah! Indonesia untuk mendapatkan layanan legalitas usaha dan konsultasi terkait dengan hukum bisnis.
Source :
- Siti Fatimah dan Endang Prasetyawati,2023,”Perlindungan Hukum Terhadap Karya Cipta Film Pada Aplikasi Netflix Beserta Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta”, Yustisi,Vol.10 No.2,59-64.
- https://www.hukumonline.com/klinik/a/larangan-praktik-monopoli-lengkap-dengan-sanksinya-lt64213618718fa/
- https://kppu.go.id/blog/2021/02/mengulik-persaingan-usaha-di-platform-online/