Sah! – Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang di Indonesia membuat kesepakatan tanpa dituangkan dalam bentuk tertulis. Contoh paling sederhana bisa kita lihat saat membeli barang di warung, meminjamkan sejumlah uang kepada teman, atau melakukan transaksi jual beli kecil.
Pertanyaannya, apakah bentuk kesepakatan semacam itu diakui dan sah menurut hukum?
Dasar Hukum Perjanjian Lisan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak mensyaratkan perjanjian harus dibuat secara tertulis. Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan di mana dua pihak atau lebih saling mengikatkan diri.
Dengan kata lain, kesepakatan bisa lahir hanya melalui ucapan atau janji lisan, bukan semata-mata dokumen tertulis.
Selanjutnya, Pasal 1320 KUHPerdata menetapkan empat syarat sahnya sebuah perjanjian, yaitu:
- Adanya kesepakatan para pihak,
- Kecakapan hukum dari pihak-pihak yang terlibat,
- Objek yang jelas, dan
- Sebab yang tidak bertentangan dengan hukum.
Selama keempat unsur tersebut dipenuhi, perjanjian — baik lisan maupun tertulis — tetap memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Kelebihan dan Kekurangan Perjanjian Lisan
Kelebihan utama perjanjian lisan adalah kesederhanaan dan kepraktisannya. Ia dapat dibuat secara cepat tanpa memerlukan dokumen khusus. Misalnya, kesepakatan hutang-piutang antar teman atau transaksi jual beli sehari-hari.
Namun, kelemahannya terletak pada pembuktian. Berdasarkan Pasal 1866 KUHPerdata dan Pasal 164 HIR, alat bukti dalam perkara perdata meliputi tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan, serta sumpah.
Tanpa dokumen tertulis, pihak yang merasa dirugikan sering kali hanya bisa mengandalkan keterangan saksi, bukti transfer, atau pengakuan dari lawan. Hal ini tentu lebih sulit dibandingkan dengan perjanjian tertulis.
Perjanjian yang Wajib Tertulis
Meskipun hukum memperbolehkan perjanjian lisan, ada beberapa perjanjian yang wajib dibuat secara tertulis agar sah.
Contohnya, hibah sebagaimana diatur dalam Pasal 1682 KUHPerdata. Selain itu, transaksi bernilai besar seperti jual beli tanah atau rumah sebaiknya dituangkan secara tertulis untuk menghindari sengketa di kemudian hari.
Risiko dan Pertimbangan Praktis
Tanpa dokumen tertulis, perjanjian lisan sangat rentan menimbulkan persoalan, terutama bila salah satu pihak ingkar janji. Sulit dibayangkan ketika seseorang harus menggugat ke pengadilan hanya bermodalkan cerita, apalagi jika saksi tidak hadir atau lupa.
Oleh karena itu, meskipun sah secara hukum, perjanjian lisan sebaiknya hanya digunakan untuk transaksi sederhana.
Sedangkan untuk urusan bernilai besar, aset penting, atau yang memiliki dampak hukum jangka panjang, perjanjian tertulis jauh lebih aman dan pasti.
Kesimpulan
Perjanjian lisan sah menurut hukum Indonesia sepanjang memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Namun, kelemahan utamanya ada pada aspek pembuktian. Demi kepastian hukum dan perlindungan yang lebih kuat, perjanjian tertulis tetap menjadi pilihan terbaik, terutama untuk urusan bernilai besar atau berisiko tinggi.
💼 Saatnya Buat Bisnismu Resmi!
Urus legalitas usahamu sekarang bersama Sah! Indonesia.
Bagi kamu yang ingin mendirikan usaha atau mengurus perizinan, silakan hubungi WhatsApp 0856 2160 034 atau kunjungi Sah.co.id.
Sumber:
