Sah!- Indonesia merupakan negara dengan populasi umat islam terbanyak kedua di dunia dengan jumlah penganut sebanyak 235.200.000 jiwa. Sedangkan Pakistan menduduki urutan pertama dengan jumlah muslim sekitar 240.000.000 jiwa.
Umat islam memiliki aturan yang cukup ketat berkaitan dengan tata cara berkehidupan di dunia, salah satunya terkait dengan makanan yang boleh atau tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi. Di saat yang bersamaan Indonesia hadir sebagai negara yang plural.
Indonesia memiliki jumlah populasi yang sangat signifikan sekitar 279.000.000, yang menyebabkan beragamnya masyarakat dengan kebudayaan yang berbeda-beda.
Dalam rangka memberikan keamanan, kenyamanan, kepastian serta kemudahan bagi umat islam untuk mengkonsumsi produk halal, maka negara membentuk suatu jaminan produk halal.
Pada mulanya Indonesia tidak menggunakan labelisasi halal melainkan memberlakukan labelisasi pada produk non halal oleh Departemen Kesehatan.
Pengaturan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 280 Tanggal 10 November 1976 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan Pada Makanan yang Mengandung Bahan Berasal dari Babi.
Pada mulanya label non halal digambarkan dengan label berbentuk babi berwarna merah dan putih yang bertuliskan “MENGANDUNG BABI”.
Selanjutnya pada 12 Agustus 1985 terjadi pergantian label “Mengandung Babi” menjadi “Halal” berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama No.42/Men.Kes/SKB/VIII/1985 dan No. 68 Tahun 1985 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan.
Banyaknya produk makanan yang beredar baik di dalam negeri maupun di luar negeri menjadi suatu pertimbangan untuk diadakannya pencantuman label makanan halal di Indonesia.
Pada mulanya pelabelan produk halal bersifat sukarela dan bukan merupakan suatu kewajiban. Setelah terbentuknya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), pelabelan halal menjadi suatu hak yang wajib untuk dilakukan.
Pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 berbunyi bahwa setiap produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.
Beberapa peraturan dalam Undang-Undang tersebut kemudian diubah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang mana menekankan bahwa UMK wajib memiliki sertifikat halal dalam produknya.
Penekanan akan kewajiban memiliki sertifikasi halal tercantum dalam Pasal 4A yang disisipkan antara Pasal 4 dan Pasal 5 UU JPH yang berbunyi bahwa pelaku usaha mikro dan kecil dalam memenuhi kewajiban sertifikat halal didasarkan atas pernyataan pelaku usaha.
Pernyataan pelaku usaha dilakukan berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH)
Selain daripada itu isu keharusan UMKM dalam memenuhi sertifikat halal juga diisukan mulai berlaku pada 18 Oktober 2024 nanti, yang kemudian berubah ketika diadakannya Rapat Terbatas yang dihadiri oleh Presiden Joko WIdodo dan sejumlah Menteri pada 15 Mei lalu.
Hasil rapat kemudian memutuskan untuk menunda kewajiban sertifikasi halal bagi produk makanan dan minuman UMK hingga tahun 2026 nantinya.
Namun demikian bagi produk usaha menengah dan besar yang tidak menggunakan self declare tetap diwajibkan untuk melakukan sertifikasi halal yang tetap mulai diberlakukan pada tanggal 18 Oktober 2024.
Hal tersebut memberikan kesempatan bagi UMK untuk kemudian mempersiapkan dokumen yang dibutuhkan dari sekarang untuk kemudian mendaftarkan sertifikat halal dan juga membentuk NIB, agar pelaksanaan kegiatan usaha tidak terhambat nantinya.
Dalam melaksanakan kegiatannya, BPJPH bekerjasama dengan beberapa lembaga lainya seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), serta Kementerian terkait.
Tata cara mendaftar sertifikat halal bagi UMK
Secara umum pembebanan biaya pada permohonan sertifikasi halal akan ditanggung oleh pelaku usaha. Berbeda dengan pelaku usaha UMK yang dapat difasilitasi oleh pihak lain.
Sertifikasi halal UMK berbentuk self declare atau pernyataan pelaku usaha yang mana tarif pembiayaan 0 rupiah bagi pelaku usaha karena telah dibebankan kepada negara dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara.
Hal ini akan semakin mempermudah pelaku usaha UMK untuk memulai kegiatan berusaha dan meningkatkan perekonomian masyarakat. Sejalan dengan pengaturan tersebut, pelaku usaha UMK perlu mempersiapkan beberapa dokumen penunjang untuk mengajukan self declare kepada BPJPH.
Hal lain yang harus diperhatikan pelaku usaha UMK sebelum melakukan self declare adalah memastikan bahwa pelaku usaha telah memenuhi beberapa persyaratan yang terangkum dalam Keputusan Kepala BPJPH nomor 150 Tahun 2022 dan Keputusan Kepala BPJPH Nomor 22 Tahun 2023 sebagai berikut:
1. Jenis produk
Produk yang didaftarkan bukan merupakan produk beresiko dan menggunakan bahan-bahan yang telah dipastikan kehalalannya.
1 NIB hanya terbatas maksimal 3 kali pengajuan dengan 3 jenis produk yang berbeda di mana 1 produk maksimal terdiri dari 10 nama produk.
ketentuan lebih rinci terkait jenis produk dapat diakses pada Buku Panduan Pendampingan PPH.
2. Bahan yang digunakan
Bahan yang digunakan aman dan tidak berbahaya sesuai dan menggunakan bahan yang sudah bersertifikat halal atau dikecualikan dari kewajiban sertifikasi halal sesuai dengan peraturan KMA Nomor 1360 tahun 2021 tentang Bahan yang Dikecualikan dalam Bersertifikat Halal.
3. Proses produksi
Proses produksi dilakukan secara sederhana dan sudah dipastikan kehalalannya. Selain itu proses pengawetan dilakukan dengan cara yang sederhana dan tidak lebih dari 1 metode.
4. Lokasi, tempat, dan alat Proses Produksi Halal (PPH)
Lokasi, tempat dan alat proses produk halal terpisah dengan lokasi, tempat dan alat proses produk yang tidak halal. Peralatan produksi menggunakan teknologi sederhana baik secara manual maupun semi otomatis. Fasilitas produksi paling banyak berada pada 1 lokasi.
5. Memiliki NIB
NIB wajib dimiliki pelaku usaha sebelum mengajukan sertifikasi halal. Untuk mendapatkan NIB, pelaku usaha perlu melakukan pendaftaran melalui sistem OSS (Online Single Submission) secara online tanpa dipungut biaya.
6. Omset hasil penjualan
Omset hasil penjualan dibuktikan dengan pernyataan mandiri dengan maksimal sebanyak Rp 500.000.00,00 (lima ratus juta rupiah) per tahun.
7. Surat izin edar
Pelaku usaha memiliki atau tidak memiliki (PIRT/MD)bukan merupakan dokumen yang wajib dipenuhi bagi pelaku usaha Surat Izin Laik Higiene Sanitasi (LHS) bagi produk makanan ataupun minuman dengan daya simpan kurang dari 7 (tujuh) hari, atau izin industri lainya dari instansi dinas terkait.
8. Verifikasi Pendamping PPH
Pelaku usaha akan diverifikasi terlebih dahulu oleh pendamping PPH sebelum mendapatkan sertifikasi halal atas produknya.
9. Melengkapi dokumen pengajuan SIHALAL secara online
Berikut beberapa dokumen yang perlu dipersiapkan pelaku usaha dalam melakukan self declare untuk mendapatkan sertifikasi halal yang dilakukan secara online melalui laman SIHALAL:
- Dokumen penyelia halal (KTP dan surat pengangkatan)
- Data produk
- Foto Produk
- Data bahan baku
- Dokumen izin edar (jika ada)
Itulah beberapa hal yang wajib dipersiapkan oleh para pelaku usaha khususnya UMK untuk mengajukan sertifikasi halal. Walaupun kewajiban sertifikasi halal bagi UMKM akan ditunda hingga tahun 2026, alangkah baiknya untuk mempersiapkan dari sekarang dalam rangka meningkatkan kepercayaan konsumen.
Sah! Menyediakan layanan pengurusan legalitas usaha, pendaftaran HAKI, serta pendaftaran hak cipta. Bagi para calon pelaku usaha yang hendak melakukan pengurusan legalitas usaha atau memiliki keinginan untuk membentuk badan usaha, bisa menghubungi kontak WhatsApp: 0851 7300 7406 untuk melakukan konsultasi atau dapat mengunjungi laman Sah.co.id
Sources:
- Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
- Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggara Bidang Jaminan Produk Halal
- Lutfika, Evrin. Lia Amalia., Mardiah. (2023). Buku Panduan Pendampingan Proses Produk Halal (PPH). Jakarta: Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah.Sertifikasi Halal dan Indonesia: Sejarah, Perkembangan, dan Implementasi. Journal of Halal Product and Research, Hayyun durrotul faridah, Universitas Airlangga Surabaya, E-ISSN: 2654-9778; P-ISSN: 2654-9409, Hal 70
- https://www.cnbcindonesia.com/research/20240310150636-128-521083/10-negara-dengan-umat-muslim-terbanyak-di-dunia-ri-nomor-berapa
- https://kemenag.go.id/opini/negara-dan-sertifikasi-halal-indonesia-cfxy63
- https://bpjph.halal.go.id/detail/kewajiban-sertifikasi-halal-produk-umk-ditunda-menag-bentuk-keberpihakan-pemerintah
- https://kemenag.go.id/pers-rilis/catat-ini-tarif-layanan-permohonan-sertifikasi-halal-pju73j