Sah! – Coretax, sistem administrasi perpajakan digital yang diharapkan menjadi tonggak modernisasi perpajakan di Indonesia, justru menjadi sorotan negatif akibat kinerjanya yang dinilai gagal memenuhi harapan. Tidak hanya dari sisi teknis yang bermasalah, tetapi juga dari segi pengelolaan anggaran yang terkesan boros dan tidak transparan. Sebagai wajib pajak, kita patut mempertanyakan alokasi dana yang begitu besar untuk sebuah sistem yang hasilnya jauh dari memuaskan. Dari data yang beredar, total anggaran Coretax mencapai Rp 1,6 triliun, dengan Rp 1,2 triliun dialokasikan untuk konsorsium LG CNS Qualysoft dan Rp 110,3 miliar untuk PT Deloitte Consulting. Angka ini belum termasuk biaya operasional internal Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang mencapai Rp 338 miliar untuk tim khusus PSIAP (Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan) yang berjumlah 169 orang. Jika diakumulasikan, total anggaran Coretax diperkirakan akan mencapai Rp 2,9 triliun. Pertanyaannya, apakah hasil yang didapat sebanding dengan dana yang dikeluarkan? Coretax, yang seharusnya memudahkan wajib pajak dan meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan, justru menjadi sumber frustrasi. Banyak wajib pajak mengeluhkan sistem yang sering down, lambat, dan tidak user-friendly. Bahkan, beberapa fitur penting tidak berfungsi dengan baik, sehingga menimbulkan kerugian waktu dan biaya bagi pengguna. Ini adalah ironi besar mengingat besarnya dana yang digelontorkan untuk proyek ini.
Salah satu hal yang paling mencolok dari pengelolaan Coretax adalah besarnya biaya yang dikeluarkan untuk tim internal DJP. Sebanyak 169 orang ditugaskan khusus untuk menangani Coretax, dengan gaji rata-rata Rp 33,9 juta per bulan. Gaji tertinggi bahkan mencapai Rp 87,6 juta per bulan untuk posisi manajer proyek. Yang lebih mencengangkan, tim ini diberhentikan dengan hormat dari jabatan sebelumnya dan dipindahkan ke PSIAP dengan kenaikan tunjangan kinerja (Tukin) yang signifikan. Rata-rata kenaikan Tukin mencapai 108,67%, dengan beberapa kasus kenaikan mencapai lebih dari 300%. Pertanyaannya, apakah kenaikan gaji dan tunjangan ini sebanding dengan kontribusi mereka? Faktanya, ketika Coretax mengalami masalah, tim ini tidak terlihat memberikan solusi yang efektif. Bahkan, banyak wajib pajak dan petugas KPP yang mengeluhkan kurangnya dukungan teknis dari tim PSIAP. Ini menimbulkan kesan bahwa alokasi dana untuk tim internal lebih bersifat politis dan kurang mempertimbangkan efisiensi.
Proyek Coretax juga menimbulkan tanda tanya besar terkait transparansi pengelolaan anggaran. Meskipun data gaji tim internal bisa diakses melalui regulasi yang ada, detail kontrak dengan vendor seperti LG CNS Qualysoft dan Deloitte Consulting tidak terbuka untuk publik. Padahal, sebagai wajib pajak, kita berhak mengetahui bagaimana dana kita digunakan. Apakah benar-benar dialokasikan untuk pengembangan sistem yang berkualitas, atau justru menjadi ajang pemborosan? Selain itu, jumlah tim internal yang mencapai 169 orang untuk sebuah proyek software terasa berlebihan. Sebagai perbandingan, perusahaan teknologi global seperti Google atau Apple mengerjakan proyek-proyek besar dengan tim yang jauh lebih kecil namun efisien. Coretax, yang seharusnya menjadi proyek strategis, justru terkesan dikelola dengan cara yang tidak profesional dan tidak efisien.
Sebagai wajib pajak, kita tidak bisa diam melihat pemborosan dana yang terjadi dalam proyek Coretax. Pemerintah, khususnya DJP, harus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pengelolaan proyek ini. Beberapa hal yang perlu dilakukan antara lain audit independen untuk memastikan bahwa dana yang dikeluarkan digunakan secara efektif dan efisien, transparansi kontrak dengan vendor agar masyarakat bisa memantau penggunaan dana, efisiensi tim internal dengan mengurangi jumlah tim yang terlalu besar dan fokus pada peningkatan kualitas dan profesionalisme, serta perbaikan sistem Coretax agar bisa berfungsi dengan baik dan memudahkan wajib pajak, bukan sebaliknya. Coretax seharusnya menjadi contoh keberhasilan transformasi digital di sektor perpajakan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Jika tidak ada perbaikan, proyek ini akan terus menjadi beban bagi wajib pajak dan citra buruk bagi pemerintah. Sudah saatnya kita menuntut akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan dana publik. Jangan sampai Coretax menjadi simbol pemborosan dan ketidakprofesionalan di era digital ini.
Selain itu, perlu juga dipertanyakan mengapa proyek sebesar Coretax tidak melibatkan lebih banyak talenta lokal. Indonesia memiliki banyak ahli teknologi informasi yang kompeten dan mampu mengembangkan sistem serupa dengan biaya yang lebih efisien. Namun, proyek ini justru diserahkan kepada konsorsium asing seperti LG CNS Qualysoft dan Deloitte Consulting. Padahal, dengan melibatkan talenta lokal, selain bisa menghemat anggaran, juga bisa menjadi ajang peningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam negeri. Ini adalah kesempatan yang terlewatkan untuk membangun kemandirian teknologi di Indonesia.
Tidak hanya itu, kegagalan Coretax juga mencerminkan kurangnya perencanaan dan manajemen risiko yang matang dalam proyek ini. Sebuah sistem yang digadang-gadang sebagai solusi modernisasi perpajakan seharusnya melalui tahap uji coba yang ketat sebelum diluncurkan secara nasional. Namun, Coretax justru diluncurkan dengan berbagai masalah teknis yang belum terselesaikan. Ini menunjukkan bahwa proyek ini lebih mengutamakan target waktu daripada kualitas. Akibatnya, wajib pajak dan petugas KPP yang menjadi pengguna akhir sistem ini harus menanggung konsekuensinya.
Lebih jauh lagi, kegagalan Coretax juga berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Sebagai wajib pajak, kita membayar pajak dengan harapan bahwa dana tersebut akan digunakan untuk pembangunan dan pelayanan publik yang lebih baik. Namun, ketika dana tersebut digunakan untuk proyek yang tidak efisien dan tidak transparan seperti Coretax, kepercayaan tersebut tentu saja terkikis. Ini adalah masalah serius yang harus segera diatasi oleh pemerintah. Kepercayaan masyarakat adalah modal penting dalam membangun negara, dan jika terus diabaikan, dampaknya akan sangat merugikan.
Selain itu, perlu juga diingat bahwa Coretax bukanlah satu-satunya proyek teknologi informasi yang bermasalah di Indonesia. Banyak proyek serupa, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang juga mengalami kegagalan. Ini menunjukkan bahwa ada masalah sistemik dalam pengelolaan proyek teknologi informasi di Indonesia. Mulai dari perencanaan yang tidak matang, manajemen risiko yang lemah, hingga kurangnya transparansi dan akuntabilitas. Jika tidak ada perbaikan sistemik, proyek-proyek serupa akan terus mengalami kegagalan, dan dana publik akan terus terbuang percuma.
Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh tidak hanya terhadap Coretax, tetapi juga terhadap seluruh proyek teknologi informasi yang sedang berjalan. Evaluasi ini harus melibatkan pihak independen untuk memastikan objektivitas dan transparansi. Hasil evaluasi tersebut kemudian harus dijadikan dasar untuk membuat kebijakan dan regulasi yang lebih baik dalam pengelolaan proyek teknologi informasi. Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dalam negeri, baik melalui pendidikan maupun pelatihan, agar bisa mengelola proyek-proyek teknologi informasi dengan lebih baik.
Di sisi lain, masyarakat juga harus lebih kritis dan aktif dalam mengawasi penggunaan dana publik. Sebagai wajib pajak, kita memiliki hak untuk mengetahui bagaimana dana kita digunakan dan menuntut akuntabilitas dari pemerintah. Jika ada indikasi pemborosan atau ketidaktransparanan, kita harus berani menyuarakan kritik dan menuntut perbaikan. Ini adalah tanggung jawab kita sebagai warga negara untuk memastikan bahwa dana publik digunakan secara efektif dan efisien untuk kepentingan bersama.
Dalam konteks Coretax, sudah saatnya pemerintah mendengarkan keluhan dan kritik dari wajib pajak. Sistem yang bermasalah seperti Coretax tidak hanya merugikan wajib pajak, tetapi juga merugikan negara. Jika sistem ini tidak segera diperbaiki, dampaknya akan semakin luas, mulai dari menurunnya tingkat kepatuhan pajak hingga terganggunya penerimaan negara. Ini adalah situasi yang tidak boleh diabaikan.
Coretax adalah contoh nyata dari proyek teknologi informasi yang dikelola dengan buruk. Dari segi anggaran, proyek ini terkesan boros dan tidak transparan. Dari segi kinerja, sistem ini gagal memenuhi harapan dan justru menjadi sumber frustrasi bagi penggunanya. Sebagai wajib pajak, kita harus menuntut akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan proyek ini. Pemerintah, di sisi lain, harus melakukan evaluasi menyeluruh dan mengambil langkah-langkah perbaikan yang konkret. Jika tidak, Coretax akan terus menjadi simbol pemborosan dan ketidakprofesionalan di era digital ini. Sudah saatnya kita belajar dari kegagalan ini dan membangun sistem yang lebih baik untuk masa depan.