Berita Terbaru Hari Ini, Update dan Terpercaya
News  

Jerat Hukum Penyebaran Nomor Pribadi, Bisa Dipenjara 10 Tahun dan Denda 5 M

Ilustrasi Doxing
Ilustrasi Doxing

Sah! – Data pribadi adalah segala informasi tentang seseorang yang bisa mengidentifikasi individu tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Contohnya meliputi nama lengkap, alamat, nomor identitas, alamat email, hingga nomor telepon. Menurut Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang baru disahkan (UU No. 27 Tahun 2022), nomor ponsel secara tegas dikategorikan sebagai data pribadi yang dapat digunakan untuk mengenali seseorang. Artinya, nomor telepon Anda adalah bagian dari identitas pribadi yang wajib dilindungi kerahasiaannya.

Privasi adalah hak fundamental setiap orang. Hak privasi mencakup hak untuk menikmati kehidupan pribadi tanpa gangguan, berkomunikasi tanpa dimata-matai, dan mengawasi siapa saja yang boleh mengakses informasi pribadi kita. Menyebarkan data pribadi tanpa izin – termasuk nomor telepon – berarti melanggar hak privasi tersebut. Bayangkan jika nomor ponsel Anda disebarluaskan di internet tanpa persetujuan: Anda bisa tiba-tiba dibanjiri telepon dari orang tak dikenal, pesan spam, atau bahkan ancaman. Tindakan seperti ini tidak hanya membuat tidak nyaman, tapi juga dapat membahayakan keamanan dan reputasi seseorang.

Kenapa penyebaran nomor telepon merupakan pelanggaran privasi? Karena saat nomor pribadi tersebar, kendali atas siapa yang dapat menghubungi dan mengetahui identitas Anda hilang. Korban berpotensi mendapat pelecehan, teror, penipuan, atau dikaitkan dengan hal-hal yang merugikan nama baik. Data pribadi yang sudah telanjur bocor di ranah publik sangat sulit untuk ditarik kembali; jejak digitalnya dapat disimpan, disebar ulang, dan disalahgunakan oleh pihak tak bertanggung jawab. Itulah sebabnya menjaga kerahasiaan data pribadi – sekecil apapun, termasuk nomor HP – sangat penting demi melindungi keamanan dan kenyamanan individu.

Aturan Hukum yang Melindungi Data Pribadi di Indonesia

Untuk mencegah pelanggaran privasi, Indonesia memiliki payung hukum yang melindungi data pribadi warga negara. Dua undang-undang utama yang relevan adalah UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Selain itu, ada juga ketentuan dalam UU Telekomunikasi yang menyinggung kerahasiaan informasi pelanggan telepon.

UU Telekomunikasi dan Kerahasiaan Nomor Telepon

Lebih dari dua dekade lalu, UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi sudah menyinggung pentingnya perlindungan data pelanggan. Pasal 42 undang-undang tersebut menjamin bahwa informasi pribadi pelanggan (termasuk nomor telepon) harus dirahasiakan oleh penyelenggara telekomunikasi. Setiap orang berhak atas perlindungan dan kepastian hukum atas data telekomunikasinya. Artinya, operator telepon dilarang sembarangan menyebarkan nomor pelanggan. Penyebaran nomor telepon tanpa izin pemiliknya dapat dianggap sebagai tindak pidana menurut UU Telekomunikasi, meski sanksi spesifiknya biasanya diterapkan pada pelaku yang bergerak di bidang telekomunikasi (seperti oknum karyawan operator).

Perlindungan Data Pribadi dalam UU ITE

Undang-Undang ITE (UU No. 11 Tahun 2008 jo. UU No. 19 Tahun 2016) memuat beberapa pasal yang melindungi privasi dan data pribadi di ranah elektronik. Pasal 26 ayat (1) UU ITE menyebutkan bahwa “kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan.”. Dengan kata lain, siapa pun dilarang menggunakan atau menyebarkan data pribadi orang lain melalui media elektronik tanpa izin. Jika hak ini dilanggar, Pasal 26 ayat (2) UU ITE memberi hak kepada korban untuk menuntut pelaku secara perdata atas kerugian yang ditimbulkan.

Selain perlindungan secara perdata, UU ITE juga mengatur sanksi pidana bagi pelanggaran terkait data elektronik milik orang lain. Pasal 32 UU ITE melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mentransfer atau memindahkan informasi elektronik milik orang lain kepada sistem elektronik yang tidak berhak. Jika tindakan tersebut mengakibatkan terbukanya data yang sifatnya rahasia milik orang lain hingga bisa diakses publik, maka pelaku terancam pidana berat. Sanksi pidana untuk perbuatan ini diatur dalam Pasal 48 UU ITE: pelaku dapat diancam penjara hingga 10 tahun dan/atau denda hingga Rp5 miliar apabila data rahasia orang lain bocor ke publik akibat perbuatannya.

Perlu dicatat, pasal-pasal UU ITE di atas umumnya diterapkan untuk kasus “doxing”, yaitu penyebaran informasi pribadi (misalnya nomor telepon, alamat rumah, dll) secara sengaja di internet untuk merugikan korban. Para pakar hukum siber menilai bahwa doxing masuk kategori kejahatan siber (cyber crime) dan bisa dijerat Pasal 32 UU ITE tadi, khususnya ayat (2) dan (3) jo. Pasal 48 UU ITE, karena pelaku menyebarkan informasi elektronik yang seharusnya bersifat pribadi/rahasia kepada publik. Jadi, menyebarkan nomor HP orang lain tanpa izin di media sosial dapat dianggap memenuhi unsur ini – informasi pribadi yang tadinya terbatas diketahui pelaku, kemudian ditransmisikan tanpa hak hingga bisa diakses banyak orang.

Sebagai ancaman hukum yang lebih mudah dipahami: Seseorang yang menyebarkan nomor telepon orang lain tanpa izin dapat diancam pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda maksimal Rp 20 miliar. Pernyataan tersebut pernah disampaikan dalam sosialisasi Mahkamah Konstitusi pada 2024, merujuk pada ketentuan UU ITE dan UU Telekomunikasi. Intinya, pelaku penyebaran data pribadi dapat dijerat pidana, walaupun besaran sanksi akhirnya akan bergantung pada pasal yang diterapkan dan putusan hakim.

UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP)

Sejak tahun 2022, Indonesia memiliki undang-undang khusus yang mengatur data pribadi, yaitu UU No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi. UU PDP ini secara komprehensif mengatur hak subjek data, kewajiban pengendali data, serta sanksi bagi penyalahgunaan data pribadi.

Di bawah UU PDP, nomor telepon jelas termasuk data pribadi yang dilindungi. Pengungkapan atau penyebaran data pribadi tanpa persetujuan merupakan pelanggaran serius. Pasal 65 UU PDP mengatur bahwa setiap orang dilarang mengungkapkan data pribadi milik orang lain secara melawan hukum. Sanksi pidananya diuraikan dalam Pasal 67 UU PDP. Secara ringkas:

  • Mengumpulkan atau memperoleh data pribadi orang lain secara ilegal (misalnya mencuri data nomor telepon seseorang untuk keuntungan sendiri) diancam pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp5 miliar.
  • Mengungkapkan atau menyebarkan data pribadi milik orang lain tanpa hak diancam pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda maksimal Rp4 miliar. Inilah pasal yang tepat untuk menjerat pelaku yang menyebarkan nomor telepon pribadi orang tanpa izin, karena pelaku telah “mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya”.
  • Menyalahgunakan data pribadi orang lain (misalnya menggunakan data itu untuk tindakan melawan hukum lain) juga diancam pidana penjara maksimal 5 tahun dan/atau denda sampai Rp5 miliar.

Tidak hanya itu, UU PDP juga mengatur pidana lebih berat bila pelanggaran data pribadi dilakukan oleh korporasi atau mengakibatkan kerugian besar. Misalnya, Pasal 68 UU PDP memuat ancaman pidana hingga 6 tahun penjara atau denda Rp6 miliar bagi siapa pun yang memalsukan data pribadi orang lain untuk keuntungan sendiri atau orang lain. UU PDP mencakup pelanggaran yang dilakukan baik melalui sistem elektronik maupun non-elektronik, sehingga segala bentuk penyebaran data pribadi tanpa izin (termasuk lewat chat WhatsApp, unggahan media sosial, atau bahkan sebarkan selebaran fisik) dapat dijerat asalkan memenuhi unsur-unsur pelanggaran yang diatur.

Dengan hadirnya UU PDP, perlindungan hukum atas privasi menjadi semakin kuat. Ketentuan UU ITE dan UU PDP bisa saling melengkapi. Singkatnya, UU ITE fokus pada perbuatan melalui media elektronik dan aspek kejahatan sibernya, sedangkan UU PDP berfokus pada perlindungan data pribadi secara umum (elektronik maupun non-elektronik) dan hak-hak subjek data. Pelaku penyebaran nomor pribadi berpotensi melanggar kedua UU tersebut sekaligus. Misalnya, seseorang yang mem-posting nomor HP orang lain di internet tanpa izin bisa dijerat UU ITE karena perbuatannya di dunia siber, dan sekaligus melanggar UU PDP karena telah mengungkap data pribadi tanpa persetujuan.

Contoh Kasus Penyebaran Data Pribadi

Fenomena penyebaran data pribadi (doxing) di Indonesia sudah beberapa kali terjadi dan menuai konsekuensi hukum. Berikut beberapa contoh nyata yang mengilustrasikan bahwa tindakan sembarangan menyebar nomor telepon orang lain bisa berujung sanksi:

  • Kasus Jefri Nichol (2023): Aktor muda Jefri Nichol sempat membuat heboh jagat maya karena melakukan doxing terhadap seorang warganet. Gara-garanya, ia merasa tersinggung oleh kritik di media sosial, lalu membalas dengan mengunggah data pribadi milik seorang netizen bernama Salma (termasuk foto dan alamat lengkapnya) di akun Twitter miliknya yang punya 1,2 juta pengikut. Aksi Jefri ini menuai kecaman luas karena dianggap melanggar privasi dan berbahaya bagi korban. Sang korban bahkan menegur Jefri secara terbuka dan mengancam akan membawa kasus ini ke jalur hukum jika data pribadinya tidak segera dihapus. Menyadari kesalahannya, Jefri Nichol akhirnya menghapus postingan tersebut dan meminta maaf secara terbuka di atas materai kepada korban sebagai bukti kesungguhan. Kasus ini menjadi pembelajaran publik bahwa bahkan figur terkenal pun bisa tersandung masalah hukum ketika menyebarkan data pribadi orang lain. Meski Jefri tidak sampai dipidana (karena kasus diselesaikan secara kekeluargaan dengan permintaan maaf), ancaman pasal UU ITE dan UU PDP sangat nyata membayangi tindakannya saat itu.
  • Kasus “Bung Towel” (2025): Tommy Welly alias Bung Towel, seorang pengamat sepak bola nasional, menjadi korban doxing setelah ia mengkritik performa seorang mantan pelatih Timnas Indonesia. Data pribadinya, termasuk kemungkinan nomor kontak, disebarkan oleh oknum yang tidak terima dengan kritik tersebut. Akibatnya, Bung Towel dan keluarganya mendapat teror, mulai dari serangan di media sosial sekolah anaknya hingga kiriman paket COD fiktif yang mengganggu ketenteraman rumah tangganya. Merasa dirugikan, Bung Towel melaporkan kasus doxing ini ke Polda Metro Jaya. Pihak kepolisian menindaklanjuti laporan tersebut karena jelas perbuatan menyebarkan nomor HP atau info pribadi tanpa izin melanggar UU ITE. Kasus Bung Towel menunjukkan bahwa korban penyebaran data pribadi bisa menuntut pelaku secara pidana, dan aparat berwenang akan mengejar pelakunya. Ini juga menegaskan bahwa doxing dianggap serius karena berdampak nyata: menimbulkan rasa takut dan ketidaknyamanan pada korban.
  • Kasus Pinjaman Online Ilegal (2022): Bukan hanya perorangan yang bisa dijerat, kelompok pelaku penyebar data pribadi pun ditindak tegas oleh polisi. Contohnya, dalam pengungkapan sindikat pinjol (pinjaman online) ilegal di Jakarta tahun 2022, polisi menangkap 11 orang karyawan pinjol yang kerap mengancam akan menyebarkan data pribadi nasabah saat menagih utang. Modus mereka, jika peminjam telat bayar, data kontak si peminjam (nomor HP si peminjam dan nomor-nomor teman/keluarga dari kontak ponselnya) diancam akan disebar ke semua kontak untuk mempermalukan korban. Tindakan ini jelas melanggar hukum. Para tersangka dijerat pasal berlapis, antara lain Pasal 32 ayat (2) UU ITE tentang transfer data elektronik tanpa hak dan Pasal 29 UU ITE tentang ancaman kekerasan/intimidasi melalui media elektronik. Ancaman hukuman bagi para pelaku debt collector pinjol ilegal tersebut tidak main-main – maksimal bisa 10 tahun penjara. Kasus ini menunjukkan bahwa penyebaran data pribadi untuk tujuan intimidasi (termasuk menyebarkan nomor kontak korban ke orang lain) dipandang sebagai kejahatan serius. Hasilnya, belasan orang kini berstatus tersangka dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum.

Selain ketiga contoh di atas, masih banyak kasus lain terkait pelanggaran privasi. Misalnya, dua jurnalis CNN Indonesia pada 2020 mengalami doxing usai meliput sebuah aksi unjuk rasa, di mana nomor pribadi dan data mereka disebar sehingga mereka mendapat banjir teror dan ujaran kebencian. Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) sampai mengecam keras aksi penyebaran data pribadi terhadap wartawan, karena mengancam keselamatan dan integritas para jurnalis. Contoh lain, marak juga terjadi penyebaran foto atau informasi pribadi mantan pacar di media sosial sebagai ajang balas dendam, yang dapat dijerat UU ITE (misal pasal pencemaran nama baik atau pelanggaran kesusilaan, tergantung konteksnya). Intinya, tren doxing dan penyebaran nomor pribadi di Indonesia sudah terjadi di berbagai kalangan – dari orang biasa, selebriti, jurnalis, hingga ulah oknum penagih utang – dan aparat hukum tidak ragu menggunakan pasal-pasal yang ada untuk menindaknya.

Risiko dan Dampak Sosial Penyebaran Nomor Pribadi Tanpa Izin

Menyebarluaskan nomor telepon seseorang tanpa persetujuan bukanlah perkara sepele. Tindakan ini menimbulkan beragam risiko dan dampak sosial yang merugikan korban maupun masyarakat luas:

  • Pelecehan, Teror, dan Perundungan: Begitu nomor korban tersebar, ia bisa menjadi sasaran pelecehan oleh banyak orang. Korban mungkin menerima telepon dan SMS tak diinginkan secara bertubi-tubi, termasuk ujaran kebencian atau ancaman. Dalam kasus doxing Bung Towel, keluarganya mendapat teror melalui paket fiktif dan serangan daring yang membuat mereka merasa tidak aman di rumah sendiri. Efek psikologisnya bisa berupa stres, paranoia, ketakutan, dan trauma jangka panjang.
  • Penipuan dan Penyalahgunaan: Nomor telepon yang tersebar bisa digunakan oleh penipu untuk tindak kejahatan. Misalnya, nomor Anda bisa dimasukkan ke grup spam, dihubungi penipu yang mengaku dari instansi tertentu, atau bahkan dipakai untuk mendaftarkan layanan yang merugikan. Data pribadi bak “mata uang baru” di era digital. Pelaku kejahatan siber senang mengumpulkan nomor-nomor aktif untuk dijual di pasar gelap atau dieksploitasi (misalnya untuk social engineering). Korban penyebaran nomor pribadi berpotensi mengalami kerugian finansial jika nomor tersebut disalahgunakan.
  • Kehilangan Kepercayaan dan Reputasi: Dampak sosial lain, korban bisa kehilangan kepercayaan dari lingkungan sekitar karena privasinya tercemar. Jika nomor dan info pribadinya disertai fitnah atau konteks negatif saat disebarkan, reputasi korban dapat tercoreng. Misalnya pada kasus Jefri Nichol, walau yang disebar “hanya” alamat dan foto, korban sempat khawatir akan keselamatan dan nama baiknya karena tiba-tiba banyak orang tahu di mana dia tinggal. Selain itu, masyarakat yang melihat kasus-kasus ini bisa menjadi resah; ada ketakutan bahwa siapapun bisa jadi korban doxing berikutnya. Ruang digital menjadi terasa tidak aman.
  • Efek Domino di Media Sosial: Sekali data pribadi tersebar, sulit dikendalikan penyebarannya. Informasi itu bisa menyebar ulang (di-repost, dicuplik oleh akun-akun lain, masuk ke forum-forum) sehingga cakupan audiensnya makin luas. Bahkan setelah postingan asli dihapus, salinan data bisa tetap beredar. Dampak sosialnya, masalah privasi seseorang bisa jadi konsumsi publik berlama-lama. Ini tentu merugikan korban dan keluarganya, serta menormalisasi perilaku pelanggaran privasi di masyarakat jika pelaku tidak segera ditindak.
  • Merusak Norma Saling Percaya di Dunia Digital: Jika kasus penyebaran nomor pribadi marak, orang akan makin enggan berbagi informasi atau berkomunitas secara online karena takut datanya bocor. Padahal, kehidupan digital membutuhkan trust (kepercayaan). Fenomena doxing bisa membuat orang saling curiga dan membatasi interaksi, yang secara sosial menghambat pemanfaatan positif internet.

Secara keseluruhan, penyebaran nomor pribadi tanpa izin menimbulkan kerugian multidimensi: emosional, sosial, hingga ekonomis. Risiko-risiko ini lah yang mendasari kerasnya aturan hukum seperti UU ITE dan UU PDP dalam mengatur dan menghukum perbuatan tersebut. Harapannya, dengan penegakan hukum yang tegas, masyarakat akan jera dan lebih menghargai privasi satu sama lain.

Mencegah kasus-kasus serupa tentu lebih baik daripada menindak setelah terjadi. Berikut beberapa tips praktis agar kita semua lebih berhati-hati di ranah digital dan turut menjaga privasi sesama:

  • Selalu Minta Izin Sebelum Membagikan Kontak: Jika Anda perlu membagikan nomor telepon seseorang (misalnya untuk keperluan grup WhatsApp, referensi kerja, dll.), mintalah izin terlebih dahulu kepada pemilik nomor. Jelaskan tujuannya kepada mereka. Jangan sekali-kali mem-posting nomor orang lain di forum publik atau media sosial tanpa persetujuan. Ini etika dasar yang harus dipegang.
  • Pikir Dua Kali Sebelum Posting Data Pribadi: Tahan diri untuk tidak asal mengunggah data pribadi milik orang lain, walaupun Anda merasa “hanya bercanda” atau “cuma iseng”. Ingatlah bahwa konsekuensinya bisa serius. Menyebarkan nomor teman karena marah atau kecewa, misalnya, dapat berujung laporan polisi. Emosi sesaat jangan sampai membuat Anda melanggar hukum. Renungkan, apakah informasi itu pantas diketahui publik? Kalau itu data Anda sendiri, apakah Anda rela hal yang sama dilakukan orang lain pada Anda?
  • Jangan Terlibat dalam Tindakan Doxing: Apabila Anda melihat ada orang yang menyebarkan nomor atau data pribadi seseorang di media sosial, jangan ikut menyebarluaskannya. Menjadi bagian dari kerumunan digital yang membagikan ulang data tersebut sama saja memperburuk pelanggaran privasi. Lebih baik tegur pelaku atau laporkan konten tersebut ke platform terkait agar dihapus. Budayakan sikap empati: posisikan diri Anda sebagai korban sebelum turut membagikan informasi pribadi yang bukan milik Anda.
  • Amankan Data Pribadi Anda Sendiri: Sisi lain, jadilah lebih sadar untuk melindungi data pribadi Anda supaya tidak mudah disalahgunakan. Misalnya, sembunyikan informasi kontak di pengaturan privasi media sosial Anda, jangan sembarangan mengisi nomor telepon di situs/aplikasi yang tidak jelas, dan waspada dengan siapa Anda berbagi nomor. Meskipun fokus tips ini adalah tidak melanggar privasi orang lain, menjaga data diri sendiri juga penting untuk mencegah orang tak bertanggung jawab mendapatkan kesempatan menyebarkannya.
  • Edukasi dan Sebarkan Kesadaran: Ajak keluarga dan teman untuk paham bahwa privasi adalah hak yang harus dihormati. Banyak orang mungkin belum tahu bahwa menyebarkan nomor WA orang tanpa izin itu melanggar hukum. Jadi, tidak ada salahnya kita saling mengingatkan. Misal di grup chat, jika ada yang iseng menyebar info pribadi orang lain, tegur dengan sopan dan jelaskan risikonya. Edukasi sederhana ini bisa mencegah pelanggaran privasi terjadi dari lingkungan terdekat kita.

Terakhir, ingatlah bahwa jejak digital itu sulit dihapus. Apa yang kita bagikan online, termasuk data orang lain, bisa tersebar jauh melampaui niat awal kita. Oleh karena itu, kebijaksanaan dan empati digital sangat diperlukan. Hargai privasi orang lain sebagaimana Anda ingin privasi Anda dihargai. Dengan begitu, kita dapat menciptakan ekosistem digital yang lebih aman, nyaman, dan saling menghormati.

Exit mobile version