Sah! – Yayasan memiliki peran penting dalam masyarakat kita. Organisasi tersebut bergerak di berbagai bidang yang mana tugasnya mengarah ke kegiatan sosial.
Namun, seringkali muncul pertanyaan di benak publik: jika yayasan adalah organisasi nirlaba (non-profit), dari mana mereka mendapatkan dana operasional dan program-program mereka?
Selain itu, bisakah sebuah yayasan benar-benar ‘berbisnis’ atau mencari keuntungan layaknya perusahaan komersial?
Oleh karena sering timbul kebingungan pada kalangan masyarakat. Istilah ‘nirlaba’ seringkali diartikan bahwa yayasan tidak boleh memiliki uang atau tidak perlu memikirkan aspek keuangan.
Padahal, realitanya tidak sesederhana itu. Yayasan tetap membutuhkan sumber daya finansial yang kuat dan berkelanjutan agar misi mulianya dapat terlaksana secara efektif dan jangka panjang.
Simak ulasan berikut untuk memahami bagaimana yayasan mendapatkan pendapatan, dan apa saja batasan hukum yang mengaturnya di Indonesia.
Yayasan: Nirlaba, Tetapi Tetap Membutuhkan Dana
Secara tujuannya didirikan, yayasan didirikan bukan untuk memperkaya para pihak yang terlibat dalam organisasi.
Struktur organisasi yayasan meliputi: 1) Pembina, 2) Pengurus, dan 3) Pengawas, yang masing-masing mempunyai tugas dan wewenang yang berbeda dalam melengkapi organisasi.
Tujuan utama yayasan, sesuai dengan UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan jo. UU No. 28 Tahun 2004 (UU Yayasan), adalah memiliki maksud dan tujuan di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan (Pasal 1 ayat (1) UU Yayasan).
Setiap aset atau pendapatan yang dimiliki yayasan harus digunakan untuk mencapai tujuan tersebut, bukan untuk dibagi-bagikan sebagai keuntungan. Hal ini merupakan prinsip nirlaba yang fundamental.
Oleh karenanya, yayasan memiliki tujuan yang dari awalnya tidak ditujukan untuk sama sekali mencari keuntungan, melainkan untuk memberikan dampak sosial dalam masyarakat, berbeda dengan korporasi dimana ditargetkan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Meskipun nirlaba, yayasan memerlukan dana untuk berbagai keperluan, sebagaimana dicantumkan pada Pasal 6 UU Yayasan bahwa setiap biaya kegiatan operasional yayasan, wajib ditanggung sendiri. Contoh-contoh biaya yang timbul, seperti:
- Biaya Operasional: Gaji karyawan, sewa kantor, listrik, air, komunikasi, dan biaya administrasi lainnya agar organisasi dapat berjalan.
- Pendanaan Program: Biaya pelaksanaan program-program sosial, pendidikan, kesehatan, atau kegiatan kemanusiaan yang menjadi fokus yayasan.
- Pengembangan dan Keberlanjutan: Dana untuk inovasi program, peningkatan kapasitas SDM, serta pembentukan cadangan finansial agar yayasan tetap eksis dan relevan di masa depan.
Sumber pendapatan yayasan bisa beragam, mulai dari donasi individu, hibah dari pemerintah atau lembaga lain, hasil fundraiser, hingga pengelolaan aset yang dimilikinya.
Selain sumber-sumber pasif ini, pertanyaan yang menarik adalah, bisakah yayasan secara aktif menghasilkan pendapatan melalui kegiatan yang berorientasi bisnis?
Bisakah Yayasan ‘Berbisnis’? Memahami Konsepnya
Penting untuk dipahami bahwa ketika yayasan ‘berbisnis’, tujuannya bukan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya demi dibagikan.
Sebaliknya, tujuan kegiatan usaha tersebut semata-mata adalah untuk menunjang atau mendukung pencapaian maksud dan tujuan sosial, keagamaan, atau kemanusiaan yayasan.
Pendapatan atau surplus yang dihasilkan dari kegiatan usaha ini harus sepenuhnya dikembalikan dan digunakan untuk mendanai program-program yayasan.
Hal ini berbeda dengan perusahaan komersial yang bertujuan utama memaksimalkan profit untuk pemegang saham. Dalam konteks yayasan, segala aktivitas penghasil uang adalah alat (means) untuk mencapai tujuan sosial (ends), bukan tujuan itu sendiri.
Sehingga, jawabannya adalah yayasan dapat melakukan kegiatan usaha, namun ada prosedur dan batasan-batasan yang diatur dalam UU Yayasan.
Batasan Pengaturan Kegiatan Usaha Yayasan Berdasarkan Hukum Positif
Batasan pertama yaitu kegiatan usaha harus sejalan dengan tujuan yayasan. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) UU Yayasan, kegiatan usaha yang dilakukan yayasan harus sejalan dengan maksud dan tujuan yayasan.
Artinya, ada relevansi antara jenis usaha dengan bidang kegiatan sosial, keagamaan, atau kemanusiaan yayasan.
Contohnya yaitu: Yayasan pendidikan bisa mendirikan institusi pendidikan atau mempublikasikan buku, yayasan kesehatan bisa memiliki klinik atau lab riset, atau yayasan lingkungan bisa menjual produk daur ulang.
Batasan kedua yaitu hasil kegiatan usaha sepenuhnya untuk tujuan yayasan. Sesuai dengan amanat Pasal 5 UU Yayasan menegaskan bahwa seluruh kekayaan hasil kegiatan usaha tersebut harus digunakan sepenuhnya untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan.
Batasan ketiga yaitu berlakunya penggunaan aset untuk penyertaan modal yang terbatas. Sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU Yayasan secara tegas mengatur bahwa yayasan hanya dapat menggunakan paling banyak 25% dari seluruh nilai kekayaan yayasan.
Dana tersebut digunakan sebagai kekayaan yang dialokasikan secara permanen dalam bentuk penyertaan modal pada suatu badan usaha.
Selain itu, perlu menjadi pertimbangan bahwa susunan dalam suatu yayasan yang memiliki badan usaha, tidak bisa menjadi Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dari badan usaha yang dimiliki, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (3) UU Yayasan yang berbunyi:
“Anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai Anggota Direksi atau Pengurus dan Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dari badan usaha …”
Kesimpulan
Menjawab pertanyaan “Bisakah Yayasan ‘Berbisnis’?”, jawabannya adalah: ya, mereka bisa dan seringkali perlu melakukannya untuk memastikan keberlanjutan finansial. Namun, ini bukanlah ‘berbisnis’ dalam pengertian komersial murni yang mencari keuntungan untuk dibagikan.
Yayasan diperbolehkan menghasilkan pendapatan melalui kegiatan usaha atau pengelolaan aset, tetapi aktivitas ini sepenuhnya merupakan alat untuk mencapai tujuan sosial, keagamaan, atau kemanusiaan mereka.
Hal tersebut telah diberikan kepastian hukum, termasuk relevansi kegiatan usaha dengan tujuan yayasan, keharusan memisahkan entitas komersial, kewajiban menggunakan seluruh hasil untuk misi yayasan, dan batasan kuantitatif (maksimal 25% aset) untuk penyertaan modal di badan usaha.
Apabila dalam Anggaran Dasar (AD) belum ada klausul mengenai tata cara perolehan kekayaan dari kegiatan usaha atau pengelolaan aset produktif, maka AD tersebut harus diubah terlebih dahulu sebelum mendirikan atau melakukan penyertaan modal pada badan usaha.
Perubahan AD ini perlu dilakukan sesuai dengan UU Yayasan, yaitu dilakukan dalam rapat Pembina, dan kemudian dengan membuat Akta Notaris yang dilaporkan prosesnya ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Memahami batasan pendapatan nirlaba ini krusial bagi pengurus yayasan untuk menjalankan organisasinya sesuai hukum dan menjaga amanah publik, sekaligus bagi masyarakat untuk memiliki ekspektasi yang tepat terhadap yayasan.
Kemampuan yayasan untuk menghasilkan pendapatan secara berkelanjutan, dalam koridor hukum dan etika nirlaba, adalah kunci bagi mereka untuk terus memberikan dampak positif yang signifikan bagi masyarakat.
Apabila anda membutuhkan layanan legalitas yayasan, Sah! Indonesia menyediakan jasa tersebut, lengkap mulai dari pendirian yayasan sampai dengan pengurusan izin usaha yayasan, Anda dapat berkonsultasi terlebih dulu dengan kami, gratis!
Kunjungi website kami di sah.co.id untuk mendapatkan informasi lebih lanjut atau hubungi kami melalui WhatsApp 0851-7300-7406.
Sumber:
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan
https://legalitas.org/tulisan/prosedur-perubahan-anggaran-dasar-yayasan
https://solusihukum.online/2021/12/bolehkah-yayasan-mendirikan-pt
https://www.easybiz.id/mengenal-tugas-dan-wewenang-organ-yayasan