Sah! – Upaya membangun kesadaran hukum terkait urgensi mensertifikatkan tanahnya guna menghindari terjadinya tumpang tindih sertifikat kepemilikan tanah.
Mengingat, permasalahan hak kepemilikan tanah terkait saling klaim tanah waris atau tanah adat kerap terjadi di masyarakat dan terbilang rumit.
Sertifikat merupakan tanda bukti yang diberikan kepada pemegang hak. Dan untuk mensertifikatkan tanahnya dapat dilakukan melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Sertifikat hak atas tanah tentu sangat penting di masa sekarang dan akan datang, karena sebagai jaminan kepastian hukum bagi masyarakat yang memiliki tanah.
Dengan disahkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria secara tegas memberikan dasar dalam mewujudkan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, yaitu dengan menyelenggarakan pendaftaran tanah guna memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, dengan tujuan lain adalah untuk terciptanya tertib administrasi pertanahan.
Salah satu sertifikat atau bukti kepemilikan tanah yang umumnya dimiliki masyarakat pada zaman dahulu yaitu disebut letter C atau SPPT PBB yang kedudukannya di hadapan hukum hanya sebagai bukti pembayaran pajak saja.
Jadi apakah bukti pembayaran pajak maupun SPPT PBB dapat dijadikan sebagai alat bukti kepemilikan hak atas tanah? Jawabannya adalah tidak.
Merujuk pada Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Sertifikat merupakan alat bukti yang bersifat kuat. Dan hanya sertifikat yang diakui oleh undang-undang sebagai alat bukti kepemilikan tanah yang sah (Pasal 32 ayat 1).
Alat bukti kepemilikan yang diakui keabsahan hukumnya yaitu akta otentik yang merupakan akta yang dibuat oleh dan dihadapan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).