Sah! – Demokrasi Pemilu 2024 sudah semakin dekat apabila diperhatikan kembali dalam pelaksanaan pemilu di tahun-tahun sebelumnya maka banyak sekali terjadi golput.
Golput atau golongan putih biasanya tidak terlepas sebagai bagian dari pelaksanaan pemilu. Golput ini sebagai sebutan bagi orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.
Lantas bagaimanakah pengaturan terkait golput tersebut apakah diperbolehkan atau justru menjadi salah satu jenis tindakan pelanggaran hukum.
Secara umum, pelaksanaan pemilihan umum selalu di ikuti kampanye dari sejumlah partai politik sudah semakin terbuka dalam pengertian berindikasi saling mengkritik, menjewer, saling melempar statement dan klaim yang meresahkan masyarakat.
Cara yang digunakannya juga beragam, diantaranya dengan menggelar pertemuan demi pertemuan dengan masyarakat untuk mengenalkan diri dan mendekatkan diri, dengan menebarkan alat peraga di sejumlah ruas jalan yang justru mengurangi keindahan lingkungan.
Bahkan dengan cara membeli suara pemilih (money politic) yang berakibat pada ketergantungan masyarakat pada hal-hal yang bersifat material finansial. Pada pemilihan umum tahun 1955 golongan putih sudah muncul.
Hanya saja saat itu golongan putih diintepretasikan sebagai ketidaktahuan masyarakat tentang pemilihan umum. Berbeda dengan golongan putih pada pemilihan umum sekarang. Setiap surat suara yang tidak sah dan Pemilih yang sakit atau harus berpergian dianggap golongan putih.
Artinya, saat ini golongan putih lebih dispesifikasikan jika ada pemilih yang tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), datang ke Tempat Pemungutan Suara tapi tidak memilih kontestan yang tertuang dalam surat suara pemilihan umum.
Kemudian, cara memilihnya dengan cara memilih keseluruhan calon, kesalahan cara memilih yang berimplikasi surat suara menjadi tidak sah.
“Saya Netral”
Istilah golput tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan baik dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum maupun turunannya.
Sejatinya golput pun bukan pelanggaran hukum sebab tidak ada satupun aturan hukum yang dilanggar, hal ini dipertegas dari laman resmi Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Adapun bunyinya bahwa posisi seseorang yang memilih untuk tidak memilih dalam pemilu bukan merupakan pelanggaran hukum
Kebebasan Memilih Setiap Orang
Apabila kita mengacu pada Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang menyebutkan bahwa setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik.
Oleh karena itu, hak untuk mwmilih dapat dimaknai sebagai bisa/boleh memilih salah satu pasangan calon atau tidak memilih semua pasangan calon.
Pengaturan Golput dalam Undang- Undang Pemilu
Undang-Undang Pemilu hanya mengatur terkait perbuatan pidana yang bersinggungan dengan golput sebagaimana diatur dalam Pasal 515 UU Pemilu.
Dimana inti dari Pasal tersebut menjelaskan bahwa seseorang akan dipidana dan denda jika dengan sengaja mempengaruhi atau mengajak orang lain supaya tidak memilih atau tidak menggunakan hak pilihnya dengan cara menjanjikan dan memberi uang atau materi lainnya.
Dengan Demikian, apabila tidak memenuhi unsur dalam Pasal 515 tersebut, maka tindakan golput tidak dapat dipidana dan bukan merupakan pelanggaran hukum.
Tanggapan Pemerintah Terkait Golput
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa masyarakat yang golput atau tidak memilih pada pemilu hukumnya haram untuk melakukan golput.
Sesungguhnya fatwa ini sudah dikeluarkan sejak pemilu 2019 dan akan berlaku untuk pemilu di tahun ini, sebab MUI berpendapat bahwa masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya disebut tidak bertanggung jawab terhadap jalannya bangsa.
Deputi Hukum dan HAM Kemenko Polkumham yakni Bapak Sugeng Purnomo menyatakan ajakan untuk mahasiswa agar berperan aktif dalam pemilihan dan tidak golput dalam menentukan perjalanan Indonesia Kedepannya.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto menyebutkan bahwa partisipasi pemilih di pemilu serentak pada 2019 sangat tinggi yakni, mencapai 80,90%. Angka tersebut bahkan lebih tinggi dari target yang ditetapkan oleh KPU, yakni sebesar 77,5%.
Berdasarkan rekapitulasi data yang telah disempurnakan, KPU menetapkan sebanyak 15.033.341 suara tidak sah dalam pileg dan sebanyak 1.379.690 suara tidak sah dalam pilpres.
Selain itu, partisipasi pemilih dalam pileg menyentuh angka 75,11 persen. Sedangkan jumlah partisipasi pemilih pada pilpres ada di angka 70 persen.
Akan tetapi, terdapat penurunan partisipasi pemilih berdasarkan tinjauan tren naiknya persentase golput atau golongan putih dengan rata-rata mencapai 25 – 30 persen
Faktor yang Mempengaruhi Sikap Pemilih
1. Kepercayaan Pada Perilaku
Sikap terhadap perilaku tidak memilih atau golput ini dipengaruhi oleh kepercayaan pada perilaku (behavioral belief) dan evaluasi terhadap kepercayaan atas perilaku tersebut.
Pada mahasiswa, sikap terhadap tingkah laku untuk tidak memilih (golput) terbentuk dari keyakinan mengenai konsekuensi dari perilaku tersebut dan evaluasi terhadap keyakinan tersebut.
Keyakinan ini tentunya dipengaruhi oleh informasi dan pengetahuan yang didapat oleh individu, seperti informasi tentang prosedur pemilu, calon-calon yang akan dipilih.
Keyakinan tersebut dapat menjadi suatu keuntungan ataupun kerugian yang diperolehnya dari perilaku golput pada pemilu. Semakin besar keyakinan akan hasil yang menguntungkan dari perilaku golput maka akan cenderung semakin positif sikap terhadap perilaku tersebut.
Sebaliknya bila dalam hal ini pemilih seperti mahasiswa berkeyakinan bahwa ketika mereka melakukan tingkah laku tersebut akan berdampak pada kerugian yang dirasakan oleh mereka, maka akan menimbulkan sikap yang cenderung negatif untuk berperilaku golput.
Hal tersebutlah yang akan mempengaruhi intensi subyek menjadi positif atau negatif dalam hal berperilaku golput dalam pemilu 2024.
2. Tekanan Sosial
Tekanan sosial yang dipersepsikan untuk menampilkan atau tidak menampilkan suatu perilaku. Hal ini terjadi karena orang lain yang berpengaruh pada diri individu (significant person) mengharapkan individu tersebut melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu.
Selanjutnya, individu tersebut akan dihadapkan dengan motivation to comply, yaitu sejauh mana kesediaan individu untuk memenuhi keyakinannya akan harapan dari significant person tersebut.
Hal ini terkait dengan nilai moral, kedekatan emosi, kedudukan orang lain, dan sebagainya.
3. Kontrol Aktual Perilaku
Dalam hal ini, kontrol aktual perilaku golput dalam pemilu bagi mahasiswa dapat berupa lokasi TPS (dekat atau jauh), tempat tinggal atau domisili dari pemilih, kondisi fisik dari pemilih itu sendiri, hingga kondisi alam yang terjadi pada hari pelaksanaan pemilu.
Pengetahuan mengenai faktor tersebut akan mempengaruhi intensinya terhadap dalam berperilaku golput saat pemilu.
Dimana pengetahuan tersebut dapat diketahui dari ketepatan persepsinya akan adanya faktor penghambat maupun pendukung dari tampilnya perilaku tersebut (actual behavioral control).
Kunjungi laman berita hukum terpilih yang disajikan melalui website Sah.co.id. Baca berita terbaru lainnya dan kunjungi juga website Sah.co.id atau bisa hubungi WA 0851 7300 7406 untuk informasi pengurusan legalitas usaha serta pembuatan izin HAKI termasuk pendaftaran hak cipta. Sehingga, tidak perlu khawatir dalam menjalankan aktivitas lembaga/usaha.
Source:
Evelina, L. W. Mia Angeline. “Upaya mengatasi golput pada pemilu 2014”. Jurnal humaniora 6, No. 1. 2015: 97-105
Priyanto, H. “Kebijakan Pemerintah Tentang Pemilihan Umum Ditinjau Darisuksesi Pendidikan Politik dan Golongan Putih”. HUMANIORA: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora 14, No. 2. (2017): 92.
Sulistiawati, A. Safitri, D. et.al. “Dibalik Golongan Putih Sang Pengikar Demokrasi Dalam Pemilu”. Jurnal Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta. (2022).
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum