Sah! – Sebuah perbuatan pidana pada dasarnya merupakan perbuatan yang bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum yang berlaku dapat dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang merugikan masyarakat, menghambat, bertentangan dengan tata kehidupan masyarakat yang baik dan adil.
Namun demikian, tidak setiap orang yang melakukan tindakan pidana secara otomatis dapat dijatuhi pidana.
Sebab untuk dapat menjatuhkan pidana disyaratkan bahwa pelaku perbuatan pidana tersebut harus merupakan orang yang dapat atau patut dipertanggung jawabkan atas perbuatannya itu.
Seperti adanya alasan pemaaf atau penghapusan pidana yang tercantum pada Pasal 48 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang daya paksa (Overmacht), pasal tersebut mengatur tentang alasan pemaaf dan penghapusan pidana dalam perbuatan pidana, yang berbunyi:
“Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”.
Menurut pasal 48 tentang daya paksa tersebut, daya paksa (overmacht) bisa menjadi dasar alasan pemaaf dan penghapusan pidana.
Akan tetapi, Undang-Undang tidak menjelaskan secara jelas apa itu daya paksa (overmacht), Undang-Undang hanya menyebutkan tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan karena terdorong keadaan atau daya yang memaksa.
Keadaan memaksa dalam hukum pidana dikenal dengan sebutan overmacht, merupakan suatu kondisi seseorang melakukan tindak pidana karena dalam keadaan yang benar-benar terpaksa.
Keadaan terpaksa itu, bisa disebabkan oleh karena kekuasaan yang tidak bisa dihindarinya atau keadaan dari luar yang menyebabkan seseorang melakukan perbuatan yang melawan hukum.
Kata “daya paksa” sendiri adalah salinan kata belanda dari “overmacht”, yang artinya suatu keadaan, atau kejadian yang tidak dapat dihindari dan terjadi diluar dugaan (diluar kekuasaan manusia).
Memorie van Toelichting menyatakan bahwa daya paksa merupakan suatu kekuatan, dorongan, ataupun paksaan yang tidak dapat ditahan atau dilawan.