Sah! – Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari yang saat ini sebesar 11 persen, menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.
Kebijakan ini dianggap akan sangat berdampak kepada masyarakat kelas menengah dan dapat melemahkan daya beli masyarakat yang mayoritas berada di kelas menengah ke bawah.
Kenaikan PPN jadi 12 persen merupakan implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), di mana dalam Pasal 7 ayat 1 disebutkan, mulai 1 Januari 2025 tarif PPN naik jadi 12 persen.
Hal ini kemudian ditegaskan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang mengatakan tarif PPN akan naik menjadi 12% pada 2025.
Airlangga juga mengatakan, rencana kenaikan PPN akan berlanjut karena presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming mengusung keberlanjutan, sehingga program yang dicanangkan pemerintah sekarang akan tetap dilanjutkan.
Dalam UU HPP sendiri juga disebutkan, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen.
Namun Airlangga mengatakan, penyesuaian peraturan tersebut menjadi ranah pemerintah selanjutnya. Dia menjelaskan, kenaikan PPN akan dibahas lebih lanjut dalam penyusunan APBN 2025 bulan depan.
PPN sendiri adalah biaya tambahan yang harus dibayar oleh konsumen ketika membeli barang atau jasa kena pajak. PPN tersebut kemudian disetorkan oleh pengusaha kena pajak (penjual) kepada negara.
Sehingga PPN dibebankan kepada konsumen atau pembeli, dan yang berkewajiban memungut, menyetorkan dan melaporkan kepada negara adalah pengusaha kena pajak alias penjual.
Namun perlu diingat, tidak semua barang dan jasa dikenakan PPN. Ada beberapa jenis barang yang bebas PPN seperti barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak, macam beras dan sejenisnya.
Kenaikan PPN tentu akan langsung berdampak pada harga akhir barang dan jasa yang kena pajak. Dan konsumen harus merogoh kocek lebih dalam untuk mendapatkan suatu barang atau jasa yang kena PPN.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita berpendapat, kenaikan PPN dapat membuat kondisi ekonomi semakin sulit bila PPN bertujuan untuk membiayai kebijakan yang tidak terkait dengan peningkatan daya beli dan kesejahteraan rakyat.
Selain itu menurut Ronny, kenaikan PPN dapat melemahkan daya beli masyarakat menengah yang menjadi penopang perekonomian Indonesia saat ini karena harga barang yang naik.
Masyarakat kelas menengah akan lebih memilih untuk menahan belanja karena, dan akhirnya dunia usaha yang akan tertekan. Dalam kondisi seperti ini, hanya pemerintah yang untung, dunia usaha dan rakyat akan merugi.
Hal senada diungkapkan oleh Anggota Komisi XI DPR RI, Andreas Eddy Susetyo dalam rapat kerja dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani beserta jajaran Kementerian Keuangan di Gedung DPR (Selasa, 19/3/2024).
Menurut Andreas, kenaikan PPN 12 persen akan berdampak pada pelemahan daya beli masyarakat, khususnya di kalangan kelas menengah ke bawah yang pendapatannya berkisar Rp 4-5 juta per bulan.
Menurutnya, masyarakat kelas menengah tidak memiliki ketahanan yang cukup untuk mengakomodasi kenaikan inflasi. Mereka bukanlah penerima bansos seperti masyarakat kelas bawah (miskin), tapi disisi lain pendapatan mereka pas-pasan.
Masyarakat kelas menengah seakan terhimpit. Mereka bukanlah orang miskin yang bisa mendapatkan bantuan pemerintah, mereka juga bukanlah orang kaya yang berpenghasilan tinggi. Akan tetapi beban mereka nyaris sama dengan kelas atas.
Padahal menurut Andreas, masyarakat kelas menengah memiliki peran signifikan dalam menopang perekonomian. Bila kelas menengah tidak mendapat perhatian, tidak menutup kemungkinan mereka akan turun kelas ke kelompok miskin.
Untuk itu, Andreas menginginkan agar rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen dikaji kembali.
UU HPP memang dibahas bersama oleh pemerintah dan DPR. Namun Andreas mengatakan, saat itu disepakati kebijakan menaikkan PPN agar mempertimbangkan kondisi perekonomian dalam negeri dan luar negeri.
Anggota Komisi XI DPR RI lainnya dari PKS, Anis Byarwati juga mengutarakan hal yang senada terkait PPN 12 persen. Menurutnya, sejak awal PKS memang menolak kebijakan kenaikan PPN jadi 12%.
Anis mengatakan, daya beli masyarakat yang memang sudah lemah, akan semakin terpuruk dengan adanya kenaikan PPN, ditambah harga kebutuhan pokok yang juga naik.
Anis sependapat dengan Andreas bahwa masyarakat kelas menengah akan paling terdampak. Menurut Anis mereka tidak bisa dikatakan miskin dan mendapatkan bansos, akan tetapi secara finansial juga belum bisa dikatakan aman.
Dirinya juga meminta pemerintah mengkaji kembali kebijakan menaikkan PPN menjadi 12 persen yang berlaku mulai tahun depan.
Sebelumnya, Ketua Badan Anggaran DPR RI, Said Abdullah meminta pemerintah untuk berhati-hati terkait rencana menaikkan PPN jadi 12 persen.
Said mengatakan, kenaikan PPN memang akan menaikkan pendapatan negara, namun akan membuat melambatnya pertumbuhan ekonomi nasional, turunnya konsumsi masyarakat, dan banyak risiko ekonomi lainnya.
Said juga berpendapat, menaikkan PPN adalah jalan pintas untuk menaikkan perpajakan yang tidak kreatif, dan akan berdampak luas membebani rakyat.
Merespon kritik DPR, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo memastikan pemerintah terus mengkaji kebijakan kenaikan PPN sebesar 12 persen yang akan diimplementasikan tahun 2025.
Suryo menjelaskan, meski kebijakan tersebut telah ditetapkan dalam undang-undang, namun pemerintah juga akan memantau perkembangan ekonomi terkini.
Untuk mendapatkan berita dan informasi terbaru dan menarik lainnya seputar hukum, bisnis, dan legalitas usaha, kunjungi Sah Blog!
SAH! juga menyediakan layanan konsultasi gratis bagi anda yang memiliki persoalan terkait legalitas usaha atau hendak mengurus legalitas usaha anda. Kunjungi SAH! untuk mendapatkan info selengkapnya!
Sumber:
Keyword: ppn 12 persen