Sah! – Merek minuman beralkohol “Anggur Merah Kaliurang” memicu kontroversi di Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya di kawasan Kaliurang, Sleman.
Polemik ini bermula dari pendaftaran merek oleh produsen pada 26 November 2024 ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). Nama “Kaliurang” yang digunakan sebagai bagian dari merek minuman keras menuai kritik dari masyarakat dan pemerintah daerah.
Bagi sebagian orang, mungkin ini terdengar biasa. Tapi tidak bagi warga Kaliurang, sebuah kawasan wisata di lereng Gunung Merapi, Kabupaten Sleman.
Kaliurang bukan sekadar nama. Ia adalah identitas. Sebuah kawasan yang selama ini dikenal dengan nuansa sejuk, religius, dan menjadi bagian dari denyut pariwisata Yogyakarta. Maka, ketika nama itu tiba-tiba muncul sebagai merek minuman keras, banyak pihak tersentak.
Ada beberapa alasan mengapa pendaftaran merek ini mendapat penolakan:
- Penggunaan Nama Geografis: “Kaliurang” merupakan nama kawasan wisata yang dikenal religius dan kultural. Penggunaan nama ini untuk produk beralkohol dianggap menyesatkan dan tidak etis.
- Citra Wilayah Tercoreng: Masyarakat dan Pemkab Sleman menilai bahwa produk ini merusak citra positif dan nilai budaya lokal.
- Tanpa Konsultasi dengan Warga: Produsen dinilai tidak melibatkan atau meminta izin dari masyarakat Kaliurang.
- Pelanggaran Norma: Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, merek tidak boleh bertentangan dengan moral, agama, dan ketertiban umum.
Tindakan Pemerintah dan Masyarakat
- Pemkab Sleman secara resmi melayangkan somasi kepada produsen, PT Perindustrian Bapak Djenggot, meminta agar nama Kaliurang tidak digunakan.
- Kemenkumham DIY tengah melakukan pemeriksaan terhadap permohonan merek dari berbagai aspek.
- Produsen akhirnya menghentikan produksi dan menarik produk dari pasar serta menarik kembali pendaftaran mereknya.
Hingga saat ini, merek tersebut belum terdaftar secara resmi karena masih dalam proses pemeriksaan oleh DJKI. Dengan berbagai penolakan dan somasi yang muncul, besar kemungkinan bahwa merek ini akan ditolak atau dibatalkan.
Kasus ini menjadi contoh penting bagaimana pendaftaran merek harus mempertimbangkan aspek budaya, sosial, dan nilai lokal. Menggunakan nama geografis yang kuat secara identitas budaya harus dilakukan dengan hati-hati dan konsultasi publik, agar tidak menimbulkan polemik yang merugikan berbagai pihak.
Kunjungi laman sah.co.id dan instagram @sahcoid untuk informasi menarik lainnya.
Jika membutuhkan konsultasi legalitas bisa klik tombol WhatsApp di kanan bawah atau melalui 0851 7300 7406