Sah – Alat Bukti dan Barang Bukti, dalam ranah hukum pidana atau dalam perkara pidana, pembuktian merupakan inti dari sebuah persidangan untuk perkara pidana, karena yang dicari dalam sebuah pembuktian adalah kebenaran materiil.
Sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan, dinyatakan tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.
Pembuktian yang dihadirkan dalam persidangan telah dimulai sejak tahap penyelidikan guna menemukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan dalam rangka membuat terang suatu tindak pidana dan menemukan si tersangka.
Pembuktian dalam perkara perdata dan pidana tentu saja berbeda karena dalam pembuktian pidana memiliki tujuan untuk mencari kebenaran material, yaitu kebenaran yang sesungguhnya.
Sedangkan untuk pembuktian perdata sendiri mencari kebenaran formil, yaitu hakim/pengadilan tidak boleh melampaui batas atas yang diajukan oleh para pihak yang berperkara.
Dalam pembuktian dalam perkara pidana terdapat 2 unsur yang tidak bisa dipisahkan yaitu alat bukti dan barang bukti.
KUHAP sendiri tidak menjelaskan definisi secara jelas tentang pembuktian, tapi hanya menjelaskan syarat dari pembuktian itu sendiri dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Alat pembuktian yang sah yang berupa alat bukti dan barang bukti merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan dan memiliki peran yang sangat penting untuk mengungkap kebenaran akan suatu peristiwa pidana yang terjadi.
Alat bukti dalam pembuktian perkara pidana merupakan alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindakan pidana. Menurut Pasal 184 ayat 1 KUHP, alat bukti yang sah adalah keterangan ahli, keterangan saksi, petunjuk, surat dan keterangan terdakwa.
Jika dalam sistem pembuktian hukum pidana yang menggunakan stelsel negatief wettelijk alat bukti yang sah menurut undang-undang lah yang bisa digunakan sebagai pembuktian.
Jadi bisa dikatakan selain alat pembuktian tersebut, tidak bisa digunakan sebagai alat bukti.
Dalam Pasal 183 KUHAP telah diatur syarat-syarat hakim untuk menghukum terdakwa yaitu sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang ditetapkan oleh undang-undang disertai keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang melakukannya.
Ketentuan mengenai barang bukti tidak secara jelas diatur dalam KUHAP. Namun, KUHAP hanya menyebutkan barang-barang apa saja yang bisa dijadikan sebuah barang bukti. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 39 ayat 1 KUHP yang menyebutkan, barang yang dapat disita berupa bisa berupa:
- Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
- Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
- Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
- Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
- Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Dapat disimpulkan bahwa barang bukti merupakan barang yang digunakan untuk melakukan sebuah tindak pidana atau barang yang terkait dengan suatu peristiwa pidana.
Sesuai dengan pernyataan dari R. Soesilo yang menjelaskan barang bukti adalah barang kepunyaan tersangka/terdakwa yang diperoleh lewat kejahatan atau yang dengan sengaja digunakan melakukan kejahatan.
Alat bukti dengan barang bukti cukup berbeda, terlihat dari pengertian dari sisi alat bukti dengan barang bukti.
Pengertian dari alat bukti yaitu alat-alat yang ada hubungannya dengan tindak pidana seperti keterangan ahli, keterangan saksi, petunjuk, surat dan keterangan terdakwa.
Sedangkan barang bukti adalah barang kepunyaan seseorang yang digunakan untuk melakukan sebuah tindak pidana, seperti barang-barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana contohnya senjata tajam, barang-barang yang menjadi sasaran tindak pidana contohnya barang-barang yang dicuri, dan masih banyak lagi barang-barang yang dapat dikategorikan sebagai barang bukti.
Meskipun berdasarkan peraturan perundang-undang barang bukti tidak termasuk sebagai alat bukti yang sah, namun dalam prakteknya di lapangan dapat berubah dan berfungsi sebagai alat bukti yang sah.
Hal tersebut menunjukkan adanya keterkaitan antara barang bukti dan alat bukti.
Contohnya dalam tindak pidana pembunuhan, untuk mengejar atau mencari kebenaran dalam persidangan maka hakim memperlihatkan barang bukti yaitu senjata berupa pisau dan gunting dan meminta keterangan kepada terdakwa dan saksi atas barang bukti yang digunakan dalam tindak pidana tersebut.
Itulah pembahasan terkait dengan alat bukti dan barang bukti, semoga bermanfaat.
Untuk yang hendak mendirikan lembaga/usaha atau mengurus legalitas usaha bisa mengakses laman Sah!, yang menyediakan layanan berupa pengurusan legalitas usaha . Sehingga, tidak perlu khawatir dalam menjalankan aktivitas lembaga/usaha .
Informasi lebih lanjut, bisa menghubungi via pesan instan WhatsApp ke +628562160034.
Source:
- Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
- Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
- Martiman Prodjohamidjojo , 1983, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, Penerbit Chalia Indonesia, , hlm. 14.
- M. Prodjohamidjojo, Tanya Jawab KUHAP, Penerbit Chalia Indonesia, Jakarta, hlm. 123
- Pasal 39 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
- R.Soesilo, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia.