Sah! – Rumah merupakan kebutuhan pokok yang semua orang wajib miliki selain makanan dan pakaian. Namun, karena rumah memiliki nilai harga yang tinggi, tidak semua orang bisa membeli secara cash/tunai.
Ada metode pembelian rumah yang dapat dilakukan semua orang, meskipun membutuhkan waktu yang tidak sebentar, yaitu membeli dengan metode kredit atau KPR. Kredit rumah ini bermacam-macam, sesuai dengan kemampuan
KPR memiliki 2 jenis, KPR tidak bersubsidi dan KPR subsidi. KPR subsidi adalah salah satu jenis cicilan yang ditujukan kepada masyarakat khusus berpenghasilan menengah ke bawah kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan rumah masyarakat
Jenis kredit ini bentuknya adalah subsidi keringanan KPR dan subsidi penambahan anggaran rekonstruksi tempat tinggal. KPR subsidi pengaturannya dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah
Selanjutnya adalah KPR Non Subsidi. KPR Tidak Subsidi adalah akomodasi yang disalurkan oleh bank kepada nasabah untuk dapat mencicil pembelian atau kepemilikan rumah. KPR jenis ini diperuntukan untuk seluruh masyarakat tanpa melihat penghasilan tiap individu
Meskipun KPR sistemnya adalah mencicil untuk beberapa waktu yang telah ditentukan, tetapi tidak sedikit orang yang tetap keberatan terhadap besaran cicilan yang diberikan oleh bank
Bahkan banyak kasus dimana orang tidak membayar kredit KPR atau kredit macet. Sudah dipastikan jika kredit lama macet sangat lama, maka denda juga akan membengkak sehingga permohonan sita pun diajukan kepada bank terkait agar hubungan antara nasabah dengan bank
Jika permohonan sita di setujui dan hubungan dengan bank telah terputus, apakah urusan nasabah telah selesai terkait membayar KPR? Kemudian apakah bank tetap dapat melakukan tuntuan pidana kepada nasabah?
Ketentuan Hukum
Terkait dengan kredit yang ada permasalahan, penyelesaiannya dapat dilaksanakan melalui administrasi perkreditan dan kredit yang macet, maka penyelesaiannya melibatkan pemakaian kelembagaan hukum (penyelesaian secara hukum)
Penekanan terhadap di penggunaan lembaga hukum atau penyelesaian melalui jalur hukum adalah jika mekanisme hukum terhadap jaminan berupa tanah mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UU 4/1996)
Yang dimaksud Hak Tanggungan sesuai dengan Pasal 1 Ayat (1) UU 4/1996 adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Pada UU Agraria tersebut menyatakan jika benda-benda lain yang termasuk satu kesatuan dengan tanah, untuk pelunasan utang tertentu, memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lainnya
Jika cicilan belum lunas, maka berhak menjual obyek Hak Tanggung untuk mengambil pelunasan piutang (Haknya) jika nasabah melakukan cidera janji (dalam hal ini tidak membayar kredit)
Hal tersebut sesuai dengan Pasal 6 UU 4/1996 yang menyatakan jika debitur cedera janji, maka pemegang hak tanggung pertama memiliki hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum. Setelah itu, pemegang hak tanggungan pertama mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
Kantor Pertanahan akan menerbitkan sertifikat hak tanggungan terhadap objek hak tanggungan yang dalam hal ini adalah tanah. Karena kekuatan eksekutornya, Sertifikat Hak Tanggungan dapat mengeksekusi objeknya apabila debitur wanprestasi atau lalai melakukan pembayaran, tanpa perlu mengajukan gugatan ke pengadilan.
Jika berdasarkan eksekusi Hak Tanggungan, hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 20 UU 4/1996 yang menentukan cara eksekusi Hak Tanggungan adalah
- Melakukan pelelangan umum dengan Parate Eksekusi, yaitu pelaksanaannya didasarkan atas titel eksekutorial yang terdapat pada Sertipikat Hak tanggungan dan memiliki kekuatan yang dipersamakan dengan Putusan Pengadilan
- Pelelangan umum dengan Fiat Pengadilan yaitu melalui permohonan eksekusi ke Pengadilan yang nantinya pengadilan akan mengeluarkan penetapan guna menjadi alas hak untuk dapat melakukan eksekusi
- Penjualan di bawah tangan, yakni penjualan berdasarkan kesepakatan para pihak (pemberi dan pemegang Hak Tanggungan) dengan tujuan untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi yang dapat menguntungkan semua pihak
Jika seseorang melakukan wanprestasi untuk tidak membayar kredit KPR yang menjadi tanggung jawabnya sebagai debitur, maka kreditur atau bank memiliki hak untuk melakukan eksekusi atas barang jaminan yang diberikan, melalui proses lelang.
Perlu di garis bawahi, hal tersebut jika seseorang telah dinyatakan melakukan wanprestasi oleh bank melalui somasi, maka tanpa perlu menunggu waktu tertentu, kreditur dapat langsung mengajukan permohonan lelang sebagai tahap dari eksekusi barang jaminan
Menurut ketentuan Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 213/PMK.06/2020 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelelangan, Lelang adalah penjualan barang terbuka untuk umum, dengan adanya penawaran harga secara tertulis atai[un tertulis yang bisa mengalami kenaikan atau penurunan untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan pengumuman Lelang.
Terdapat 4 jenis lelang berdasarkan Pasal 1 Angka (5), (6), (7), dan (8) PMK 213/2020 meliputi
- Lelang Eksekusi merupakan lelang untuk pelaksanaan putusan atau penetapan pengadilan, dokumen lain yang dipersamakan dengan itu dan atau melaksanakan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
- Lelang Non-eksekusi wajib, yaitu lelang yang dilaksanakan untuk penjualan barang oleh peraturan perundang-undangan diharuskan melalui lelang
- Lelang non-eksekusi sukarela adalah lelang untuk melaksanakan penjualan barang yang dimiliki swasta, badan hukum/badan usaha atau perorangan yang dilelang secara sukarela
- Lelang Noneksekusi sukarela terjadwal khusus adalah lelang noneksekusi sukarela terhadap barang-barang bergerak yang pada waktu pelaksanaanya ditentukan oleh penyelenggara lelang secara terencana, rutin, dan tertentu
Selama prosedur hukum atas kredit kepemilikan rumah beserta barang jaminan dilaksanakan antara nasabah dan bank sesuai dengan ketentuan hukum, maka pertanggungjawaban nasabah selaku debitur hanya sebatas keperdataan saja tanpa timbul pertanggungjawaban secara pidana di dalamnya
Kesimpulan
Bahwa KPR memberikan dampak negatif maupun positif bagi masyarakat. Untuk masyarakat yang berpenghasilan rendah, bisa mendapatkan rumah dengan membayar angsuran.
Jika nantinya kredit rumah macet karena ketidakmampuan membayar sehingga dinyatakan wanprestasi oleh kreditur maka pihak debitur atau nasabah disini dikenakan pertanggungjawaban secara perdata.
Pihak kreditur memiliki hak untuk menyita rumah sebagai jaminan agunan Ketika debitur dinyatakan wanprestasi atau ingkar janji
Penggemar artikel SAH, jangan sedih dulu karena sebentar lagi Ramadhan akan segera berakhir. Tetap pantau terus Sah.co.id, karena kami akan terus mengupload artikel-artikel baru mengenai peristiwa terkini yang disusun secara komprehensif dan tentu saja menghibur untuk dibaca.
Selain itu, Sah membantu calon pemilik bisnis terkait dengan perizinan, pembentukan perseroan terbatas, dan persyaratan lainnya. Penasaran? Hubungi WA 0851 7300 7406 sekarang juga, atau kunjungi website Sah.co.id.
Sumber
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 213/PMK.06/2020 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelelangan
Website
Saputra, Andi. 2024. Detik News. Maret 26. Accessed April 7, 2024. https://news.detik.com/berita/d-7261741/kredit-kpr-macet-apakah-saya-bisa-dipidanakan-oleh-bank.