Sah! – Merek merupakan suatu hal yang penting dalam menjalankan usaha karena merek merepresentasikan identitas dari usaha tersebut.
Setiap pengusaha harus memperhatikan ketentuan mengenai merek pada peraturan di Indonesia karena sering kali terjadi permasalahan terhadap merek.
Salah satu contohnya adalah adanya merek yang sama dari bisnis yang berbeda. Bisnis yang berbeda tentu tidak dapat memiliki merk yang sama karena akan menimbulkan kebingungan bagi pihak lain.
Selain itu juga diatur dalam ketentuan dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yang menyatakan bahwa tidak boleh ada merk yang sama yang terdaftar di Indonesia.
Menurut Pasal 21 ( a ) UU Merek permohonan pendaftaran merek dapat ditolak apabila terdapat persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis.
Persamaan pokoknya artinya kemiripan karena adanya unsur yang dominan antara merek yang satu dengan merek yang lain sehingga menimbulkan kesan adanya persamaan.
Persamaan tersebut dapat mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur, maupun persamaan bunyi ucapan, yang terdapat dalam merek tersebut.
Terdapat dua jenis sistem perlindungan merek yaitu sistem deklaratif atau first to use dan sistem konstitutif atau first to file.
Sistem First to Use
Sistem perlindungan merek dengan mekanisme sistem deklarasikan atau first to use merupakan sistem perlindungan yang memberikan hak eksklusif untuk pengguna pertama dari merek tersebut secara komersial pada suatu wilayah tertentu.
Walaupun pengguna merek tersebut belum mengajukan permohonan untuk mendaftarkan mereknya secara komersial, hak eksklusif tersebut tetap berlaku menurut sistem ini.
Penerapan sistem first to use ini dapat kita temui pada negara seperti Kanada dan Amerika Serikat.
Permohonan merek di Amerika Serikat diajukan berdasarkan penggunaan merek tersebut untuk pertama kalinya secara komersial atau intensi penggunaan merek tersebut di kemudian hari.
Permohonan penggunaan merek harus didasarkan dengan intensi itikad baik untuk menggunakan merek tersebut untuk di pasaran.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sistem first to use berarti tidak perlu untuk pengajuan terlebih dahulu untuk mendaftarkan merek untuk membuat merek milik suatu bisnis diakui.
Sistem first to use memberikan hak merek kepada pihak yang dapat membuktikan secara deklaratif bahwa pihak tersebut merupakan pihak yang pertama kali menggunakan merek terkait.
Sistem First to File
Sistem first to file membuat pihak yang ingin memiliki hak atas suatu merek harus segera mendaftarkan merek tersebut ke DJKI (Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual) yang berada di bawah Kemenkumham (Kementerian Hukum dan HAM).
Sistem first to file atau sistem konstitutif merupakan sistem perlindungan terhadap suatu merek di mana pihak yang pertama kali mengajukan permohonan pendaftaran DJKI, maka membuat hak atas merek menjadi miliknya.
Negara yang menganut sistem adalah negara kita sendiri. Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem first to file. Dasar hukumnya dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 angka 5 UU Merek yang menyebutkan bahwa:
“Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.”
Kemudian ketentuan dalam Pasal 3 UU Merek juga menyatakan secara jelas bahwa: “Hak atas Merek diperoleh setelah Merek tersebut terdaftar.”
Untuk mengajukan permohonan pendaftaran merek di Indonesia dapat diajukan oleh pemohon atau kuasanya kepada Menteri Hukum dan HAM melalui sistem elektronik filing (efiling) pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) dengan membayar sejumlah biaya.
Untuk mendaftar permohonan pendaftaran merek maka harus memuat:
- tanggal, bulan, dan tahun permohonan;
- nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat pemohon;
- nama lengkap dan alamat kuasa jika permohonan diajukan melalui kuasa;
- merek yang ingin diajukan pendaftarannya;
- uraian mengenai kelas dan jenis barang dan/atau jasa yang ingin dilindungi; dan
- logo merek, warna, dan arti merek apabila ada;
Pendaftaran first to file memberikan hak kepada orang yang mendaftarkan merek tersebut pertama kali di Indonesia agar memiliki hak ekslusif merek. Sistem perlindungan merek ini mengharuskan suatu pihak untuk bertindak cepat agar dapat hak merek.
Realitanya terkadang sistem ini menimbulkan beberapa sengketa. Adapun contoh kasus yang terkenal seperti kasus yang dialami oleh brand fesyen terkenal yakni Pierre Cardin.
Dalam kasus tersebut Tim hukum Pierre Cardin pernah mengajukan gugatan merek melawan Alexanter Satryo Wibowo yang merupakan pengusaha lokal asal Indonesia karena dianggap menggunakan keterkenalan merek Pierre Cardin.
Indonesia yang menganut sistem first to file membuat hasil putusan pada pengadilan tingkat pertama menolak gugatan yang dilayangkan oleh Pierre Cardin.
Salah satu alasannya adalah majelis hakim mengakui adanya merek Pierre Cardin milik Alexander yang telah didaftarkan terlebih dahulu pada 29 Juli 1977.
Pierre Cardin kemudian melanjutkan perkara tersebut sampai tingkat Kasasi. Sayangnya, upaya Pierre Cardin kembali gagal.
Mahkamah Agung dalam putusan perkara Nomor 557/K/Pdt.Sus-HKI/2015 menyatakan bahwa Alexander sebagai pemilik merek Pierre Cardin lokal memiliki pembeda dalam produknya.
Pembeda tersebut disebutkan yakni “Termohon memiliki pembeda dengan selalu mencantumkan kata-kata Product by PT. Gudang Rejeki sebagai pembeda, disamping keterangan lainnya sebagai produk Indonesia.”
Pertimbangan majelis kasasi menganggap bahwa merk tersebut tidak mendompleng keterkenalan merk lain.
Kasus tersebut merupakan kasus sengketa merek yang terkenal karena kekalahan Pierre Cardin. Sebenarnya memang UU Merek menurut beberapa pihak masih belum dapat memberikan kepastian hukum.
Contohnya pada kasus antara merk asal Italia yang terkenal yaitu “Gucci” dengan merek asal Indonesia yaitu “Guchi”. Dalam putusannya majelis hakim berpandangan bahwa merek “Guchi” tidak mengandung unsur itikad baik sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU Merek.
Pasal 4 UU Merek menyatakan bahwa merek tidak dapat didaftarkan atas dasar permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik.
Melihat juga dalam Pasal 21 (b) dan (c) UU Merek juga melarang adanya persamaan dengan merek terkenal.
Melansir dari Hukumonline, Budi Agus Riswandhi, Direktur Pusat Studi Hak Kekayaan Intelektual Universitas Islam Indonesia, berpendapat sistem perlindungan merek yang dianut Indonesia hingga saat ini bersifat relatif.
Menurutnya apabila ada pemilik merek sebagai pemakai pertama (first to use) yang beriktikad baik walaupun memiliki persamaan dengan pemilik merek terkenal, maka berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum.
Artinya, prinsip first to file dengan iktikad tidak baik dapat dikalahkan dengan prinsip first to use dengan iktikad baik.
Melihat polemik merek di Indonesia maka seseorang yang ingin memiliki hak atas merek harus hati-hati agar tidak memiliki kesamaan dengan merek lain.
Di sisi lain juga pihak yang sudah memiliki suatu merek akan tetapi belum mendaftarkannya, sebaiknya segera mengklaim hak atas merek miliknya.
Merek berperan penting dalam branding suatu usaha apalagi jika merek tersebut sudah memiliki pengaruh yang besar.
Apabila kamu tertarik untuk mengurus merek jangan ragu untuk berkonsultasi dengan Sah! dengan mengunjungi laman Sah.co.id atau menghubungi WA 0851 7300 7406.
Source :