Berita Hukum Legalitas Terbaru

Legalitas Pengelolaan Limbah dalam Proyek Waste-to-Energy: Perspektif Hukum Lingkungan

Ilustrasi Pengelolaan Limbah Proyek Waste-to-Energy

Sah! – Proyek Waste-to-Energy (WtE) menjadi solusi strategis dalam mengatasi masalah sampah sekaligus mendukung transisi energi berkelanjutan di Indonesia.

Namun, implementasinya memerlukan landasan hukum yang kuat untuk memastikan kepatuhan lingkungan, keadilan sosial, dan efektivitas operasional. Berikut analisis mendalam dari perspektif hukum lingkungan.

Kerangka Hukum Pengelolaan Limbah untuk WtE

Regulasi utama yang mengatur proyek Waste-to-Energy (WtE) di Indonesia mencakup berbagai kebijakan yang mendukung pengelolaan sampah berkelanjutan. Undang-Undang No. 18/2008 menekankan prinsip reduksi, daur ulang, dan pemanfaatan sampah sebagai sumber energi terbarukan.

Sementara itu, Peraturan Presiden No. 35/2018 bertujuan mempercepat pembangunan PLTSa di 12 kota prioritas dengan teknologi ramah lingkungan. Selain itu, Perpres No. 97/2017 dan No. 83/2018 mengatur kebijakan nasional terkait pengelolaan sampah rumah tangga dan laut, yang kini tengah dikonsolidasikan untuk menyederhanakan perizinan.

Regulasi ini juga mencakup kewajiban izin lingkungan, persyaratan teknis, serta skema insentif seperti feed-in tariff guna mendorong investasi di sektor WtE.

Persyaratan Perizinan dan Kepatuhan Lingkungan

Proyek Waste-to-Energy (WtE) di Indonesia harus memenuhi berbagai persyaratan hukum untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi lingkungan dan tata kelola yang berkelanjutan.

Sebelum pembangunan dimulai, Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) wajib dilakukan untuk mengendalikan potensi dampak ekologis. Jika sampah yang dikelola mengandung bahan berbahaya, proyek juga harus memperoleh Izin Pengelolaan Limbah B3 sesuai dengan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Selain itu, proyek WtE harus selaras dengan Rencana Tata Ruang agar sesuai dengan kebijakan pengelolaan sampah daerah dan energi nasional. Pemerintah juga mewajibkan pengembang menyediakan jaminan finansial sebagai langkah mitigasi terhadap risiko lingkungan yang mungkin timbul.

Tantangan Hukum dalam Implementasi WtE

Beberapa masalah hukum kerap muncul dalam implementasi proyek Waste-to-Energy (WtE) di Indonesia. Sebelum konsolidasi regulasi pada 2025, fragmentasi kebijakan antara Perpres No. 35/2018, No. 97/2017, dan No. 83/2018 menghambat proses perizinan akibat tumpang tindih aturan.

Selain itu, lemahnya penegakan hukum menyebabkan fenomena superficial compliance, di mana proyek WtE hanya memenuhi persyaratan administratif tanpa memberikan dampak nyata terhadap keberlanjutan.

Konflik kewenangan juga menjadi tantangan, terutama dalam penerbitan izin yang sering kali menimbulkan benturan antara pemerintah daerah, Kementerian ESDM, dan PLN.

Inovasi Regulasi untuk Meningkatkan Efektivitas

Pemerintah telah melakukan sejumlah pembaruan hukum untuk mendukung proyek Waste-to-Energy (WtE) di Indonesia. Salah satu langkah utama adalah konsolidasi tiga peraturan presiden—Perpres No. 97/2017, No. 35/2018, dan No. 83/2018—guna menyederhanakan prosedur perizinan dan memperluas cakupan wilayah proyek.

Selain itu, PLN sebagai pembeli tunggal energi dari WtE diwajibkan menerapkan tarif insentif yang diatur dalam Perpres No. 35/2018, guna meningkatkan daya tarik investasi.

Pemerintah juga mengadopsi pendekatan berbasis Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), dengan mengintegrasikan prinsip SDG 11 tentang kota berkelanjutan dan SDG 7 mengenai energi bersih ke dalam kebijakan WtE, agar proyek yang dijalankan memiliki dampak sosial dan ekologis yang seimbang.

Peran Stakeholder dalam Memastikan Legalitas

Dalam proyek Waste-to-Energy (WtE), berbagai pihak memiliki peran dan tanggung jawab yang jelas. PLN bertanggung jawab membeli listrik yang dihasilkan serta memastikan kepatuhan teknis proyek.

Pemerintah daerah wajib menyediakan lokasi pengolahan sampah yang sesuai dengan rencana tata ruang, sehingga proyek dapat berjalan sesuai dengan kebijakan pengelolaan lingkungan dan wilayah.

Sementara itu, pengembang diwajibkan melakukan due diligence lingkungan serta melibatkan tenaga ahli bersertifikat dalam operasional proyek, guna memastikan bahwa proses berjalan sesuai standar dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.

Proyeksi dan Rekomendasi Kebijakan

Agar proyek Waste-to-Energy (WtE) berkontribusi pada pencapaian SDGs, diperlukan berbagai langkah strategis. Sertifikasi kompetensi khusus bagi operator instalasi harus diterapkan untuk mencegah kecelakaan dan polusi.

Selain itu, pengawasan terintegrasi melalui mekanisme audit lingkungan independen diperlukan guna memastikan kepatuhan substantif, bukan sekadar administratif. Insentif fiskal seperti subsidi tipping fee dan kemudahan akses pendanaan hijau juga menjadi faktor kunci dalam menarik investasi swasta.

Dengan kerangka hukum yang holistik, proyek WtE memiliki potensi besar dalam mengatasi krisis sampah sekaligus menyediakan energi alternatif.

Konsolidasi regulasi terbaru yang direncanakan pada 2025 merupakan langkah progresif, tetapi keberhasilannya sangat bergantung pada penegakan hukum yang konsisten serta transparansi antar-pemangku kepentingan.

Kunjungi laman sah.co.id dan instagram @sahcoid untuk informasi menarik lainnya.

Jika membutuhkan konsultasi legalitas bisa klik tombol WhatsApp di kanan bawah atau melalui 0851 7300 7406

Source:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *