Sah! – Pada Februari 2025, Presiden AS, Trump mengumumkan rencana untuk memberlakukan kebijakan tarif resiprokal, untuk menyamai tingkat pajak yang dikenakan oleh negara-negara lain pada impor.
Kebijakan ini merupakan perwujudan dari kebijakan perdagangan “America First” yang menjadi landasan kampanye Trump, menekankan perdagangan yang saling menguntungkan untuk meningkatkan daya saing AS dan melindungi kedaulatannya.
Tujuan utama kebijakan ini adalah untuk mengatasi defisit perdagangan barang tahunan AS yang besar dan terus-menerus, yang dianggap sebagai keadaan darurat nasional.
Besaran Tarif Resiprokal yang Diumumkan Oleh Donald Trump
Kebijakan ini melibatkan tarif dasar sebesar 10% untuk impor dari hampir semua mitra dagang AS, yang berlaku efektif mulai 5 April 2025.
Selain itu, tarif resiprokal yang lebih tinggi, berkisar antara 11% hingga 50%, dikenakan pada 57 negara, yang berlaku efektif mulai 9 April 2025. Indonesia termasuk di antara negara-negara ini dan menghadapi tarif sebesar 32%.
Tidak lama setelah itu, Presiden Trump mengumumkan penundaan selama 90 hari untuk tarif resiprokal spesifik negara (di atas tarif dasar 10%) untuk semua negara kecuali Tiongkok, yang berlaku efektif mulai 10 April 2025, untuk memungkinkan negosiasi. Penundaan ini berakhir pada 9 Juli 2025.
Selama penundaan 90 hari, sebagian besar negara, termasuk Indonesia, dikenakan tarif dasar 10%. Ini masih merupakan tarif baru bagi banyak negara yang sebelumnya memiliki tarif lebih rendah atau tidak ada tarif untuk ekspor mereka ke AS.
Setelah masa penundaan itu selesai, maka tarif tersebut kembali ke patokan awal, yaitu 32 persen untuk Indonesia, apabila memang dilanjutkan oleh Presiden AS tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Komisi VII Saleh Partaonan Daulay menilai kebijakan tarif 32 persen oleh AS perlu disikapi pemerintah dengan melakukan negosiasi.
“Cara menyikapinya tentu dengan negosiasi, paling tidak agar diseimbangkan (kebijakan tarif). Kedua tentu kita di dalam negeri harus meningkatkan daya saing barang-barang kita, sehingga dengan adanya peningkatan daya saing barang-barang kita bukan hanya lagi kita mengejar ekspor ke Amerika, tetapi buka pasar baru. Eropa, Timur Tengah, dan Afrika saya kira itu menjanjikan untuk pasar kita,” kata Saleh.
Dampak Terhadap Perekonomian Indonesia
Kenaikan tarif berpotensi menghambat ekspor Indonesia. Sektor-sektor seperti tekstil, furnitur, elektronik, pertanian, dan perikanan diperkirakan akan berdampak negatif.
Menurut Prof. Rossanto, kebijakan ini akan meningkatkan harga barang impor Indonesia di Amerika, yang selanjutnya dapat mengurangi daya saing produk Indonesia dan menurunkan surplus neraca perdagangan.
“Tanpa upaya yang jelas, maka surplus akan berkurang dan neraca perdagangan indonesia akan mengalami defisit serta pertumbuhan ekonomi menurun. Dengan fakta prediksi pertumbuhan ekonomi yang hanya 4,9 persen, maka GDP akan turun karena Amerika merupakan salah satu negara tujuan utama ekspor Indonesia,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Prof. Rossanto memperingatkan bahwa melemahnya daya saing produk Indonesia di pasar Amerika berpotensi mengakibatkan penutupan industri yang berorientasi ekspor, lonjakan angka pengangguran, serta penurunan investasi di sektor-sektor yang mengekspor ke Amerika.
“Polemik yang dibarengi dengan penurunan rupiah dan IHSG ini menunjukkan bahwa dimana semua negara mengalami pembalikan keadaan oleh Amerika yang sekarang berusaha melindungi industri domestik dari luar. Ditambah dengan inflasi yang tinggi di semua negara dan rupiah yang hampir menyentuh angka psikologis pasar menyebabkan investor memiliki keraguan dalam melakukan investasi di Indonesia,” ungkapnya.
Dampak Terhadap Rupiah
Penurunan ekspor Indonesia ke AS akibat tarif akan mengurangi arus masuk dolar AS ke Indonesia, yang berpotensi menurunkan pasokan USD terhadap Rupiah.
Sebaliknya, jika Indonesia meningkatkan impor dari AS sebagai bagian dari negosiasi, hal ini akan meningkatkan permintaan USD, yang berpotensi melemahkan Rupiah.
Secara keseluruhan, memburuknya neraca perdagangan dengan AS dapat memberikan tekanan ke bawah pada nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS.
Rupiah melemah segera setelah pengumuman tarif pada awal April 2025. Analis memperingatkan depresiasi Rupiah lebih lanjut, yang berpotensi mencapai IDR 17.000-18.000 per USD pada akhir tahun 2025, terutama jika tarif tetap berlaku setelah penundaan 90 hari.
Faktor-faktor seperti sentimen pasar negatif, potensi kenaikan suku bunga AS, dan ketidakpastian ekonomi global dapat semakin berkontribusi pada volatilitas Rupiah.
Dampak langsung tarif terhadap perdagangan Indonesia-AS kemungkinan akan menjadi pendorong utama fluktuasi nilai tukar Rupiah dalam jangka pendek hingga menengah. Penurunan ekspor yang signifikan akan mengurangi arus masuk USD, yang menyebabkan depresiasi.
Prinsip dasar penawaran dan permintaan mata uang menyatakan bahwa penurunan pasokan USD (akibat penurunan ekspor) relatif terhadap permintaan IDR akan menyebabkan harga USD dalam IDR meningkat, yang berarti Rupiah melemah.
Dampak Melemahnya Nilai Rupiah Terhadap Dolar AS Pada Nilai Utang Indonesia
Utang pemerintah nasional Indonesia mencapai Rp 8.909,13 triliun, rasio utang terhadap PDB adalah 39,6%, dan pinjaman luar negeri Indonesia mencapai Rp 1.027,72 triliun atau sekitar 61,05 miliar USD pada Januari 2025 (Kurs Rupiah terhadap USD kisaran Rp 16.835 per 17 April 2025).
Utang berdenominasi mata uang asing merupakan bagian signifikan dari total utang Indonesia. yaitu sekitar 28,8% dan 71,2% sisanya merupakan denominasi Rupiah.
Pada Januari 2025, SBN (Surat Berharga Negara) berdenominasi mata uang asing bernilai Rp 1.537,11 triliun atau sekitar 91,30 Miliar USD.
Rupiah yang lebih lemah terhadap USD meningkatkan nilai Rupiah dari utang Indonesia yang berdenominasi USD.
Ini berarti pemerintah perlu mengalokasikan lebih banyak Rupiah untuk membayar dan melunasi utangnya yang berdenominasi USD, sehingga meningkatkan beban pada anggaran negara.
Rupiah yang terdepresiasi juga dapat meningkatkan biaya pembiayaan kembali utang berdenominasi USD yang ada ketika jatuh tempo.
Jika Rupiah melemah seperti yang diprediksi akibat tarif resiprokal, biaya pelayanan utang Indonesia untuk utang mata uang asingnya dapat meningkat secara signifikan, yang berpotensi mempengaruhi keberlanjutan fiskal.
Peningkatan beban utang ini dapat membatasi kemampuan pemerintah untuk mendanai pengeluaran penting lainnya, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Sebagai perbandingan, apabila merujuk pada Pasal UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, batas aman rasio utang pemerintah yang ditetapkan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) adalah 60 persen.
Kunjungi laman sah.co.id dan instagram @sahcoid untuk mendapatkan informasi menarik lainnya.
Jika membutuhkan konsultasi legalitas bisa klik tombol WhatsApp di kanan bawah atau melalui 0851 7300 7406.
Sumber:
UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
APBN KiTA edisi Februari 2025
https://www.aseanbriefing.com/news/navigating-u-s-tariffs-a-strategic-outlook-for-indonesia
https://unair.ac.id/trump-naikkan-tarif-impor-hingga-32-dosen-unair-sebut-potensi-ancaman-ekonomi/
https://en.tempo.co/read/1994782/impact-of-trumps-tariff-policy-to-indonesia-blessing-in-disguise
https://www.barrons.com/articles/trump-tariffs-china-vietnam-retaliatory-news-9ad8bc44