Berita Terbaru Hari Ini, Update dan Terpercaya
banner 728x250
News  

Syarat Menjadi Kapolri, Siapa yang Berhak Memutuskan?

Sah! – Pergantian Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) selalu menjadi perhatian publik. Sosok yang menempati posisi ini bukan sekadar pemimpin lembaga penegak hukum, melainkan juga figur strategis yang memengaruhi keamanan, politik, dan stabilitas nasional.

Tak heran, setiap kali muncul isu pergantian Kapolri, pertanyaan yang mengemuka adalah: apa saja syaratnya, dan siapa yang berwenang memutuskan?

Syarat Formal Menjadi Kapolri

Secara hukum, syarat menjadi Kapolri diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta ketentuan lain yang berkaitan dengan jabatan pimpinan tinggi Polri. Beberapa syarat pokok antara lain:

  1. Anggota aktif Polri – Kapolri harus berasal dari perwira tinggi Polri yang masih aktif bertugas.
  2. Pangkat minimal Komisaris Jenderal (Komjen) – Syarat kepangkatan ini memastikan hanya perwira dengan bintang tiga yang dapat diajukan.
  3. Berprestasi dan berintegritas – Meski tidak tertulis detail, rekam jejak menjadi tolok ukur penting, termasuk pengalaman dalam jabatan strategis serta catatan bebas dari pelanggaran etik atau pidana.
  4. Sehat jasmani dan rohani – Standar kesehatan mutlak diperlukan karena tugas Kapolri membutuhkan ketahanan fisik dan mental yang tinggi.
  5. Mendapat persetujuan politik – meskipun berasal dari internal Polri, proses pengangkatan tetap melalui mekanisme politik di pemerintah dan DPR.

Syarat-syarat ini menegaskan bahwa jabatan Kapolri bukan hanya soal teknis kepolisian, melainkan juga menyangkut aspek moral, etika, hingga kapasitas kepemimpinan nasional.

Proses Pengangkatan

Mekanisme pengangkatan Kapolri diatur jelas. Presiden memiliki kewenangan penuh untuk mengusulkan calon Kapolri kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Setelah nama diajukan, DPR melalui Komisi III akan melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon yang diajukan.

Jika DPR menyetujui, calon tersebut kemudian dilantik oleh Presiden menjadi Kapolri. Artinya, ada kombinasi keputusan eksekutif (Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan) serta kontrol legislatif (DPR sebagai representasi rakyat) dalam proses penentuan.

Proses ini berbeda dengan jabatan strategis lain di TNI, yang biasanya langsung ditetapkan Presiden.

Pada Polri, keterlibatan DPR memberi ruang akuntabilitas publik agar pemilihan Kapolri tidak hanya berdasarkan preferensi politik, melainkan juga memperhatikan aspirasi rakyat melalui wakilnya.

Pertimbangan dalam Pemilihan

Selain syarat formal, ada sejumlah pertimbangan yang kerap muncul dalam menentukan siapa yang layak menjadi Kapolri:

  • Kedekatan dengan Presiden: Faktor politik tak bisa dilepaskan. Kapolri harus sejalan dengan visi pemerintah karena institusinya punya peran strategis dalam mendukung kebijakan nasional.
  • Pengalaman jabatan strategis: Umumnya calon Kapolri adalah perwira yang pernah menjabat sebagai Kabareskrim, Kabaintelkam, As SDM, Kadiv Propam, Irwasum, Wakapolri, atau Kapolda di wilayah besar.
  • Rekam jejak penanganan kasus besar: Publik menilai calon dari bagaimana ia menangani kasus penting, seperti korupsi, terorisme, narkotika, hingga kasus internal Polri.
  • Integritas dan komunikasi publik: Seorang Kapolri harus mampu menjaga citra institusi, terbuka kepada masyarakat, dan bisa membangun kepercayaan publik.

Siapa yang Punya Hak Memutuskan?

Pada akhirnya, Presiden adalah pihak yang memegang kendali penuh dalam memilih calon Kapolri. Namun keputusan Presiden tidak berdiri sendiri karena membutuhkan persetujuan DPR. Dengan demikian, ada mekanisme check and balance dalam proses ini.

Namun, publik juga memiliki peran penting. Opini masyarakat, suara media, dan pandangan pakar seringkali ikut memberi tekanan moral agar Presiden dan DPR berhati-hati dalam menentukan pilihan. Figur yang dipilih harus mampu membawa Polri lebih profesional, transparan, dan humanis.***