Sah! – Perkumpulan dalam hukum Indonesia dipahami sebagai gabungan orang-orang yang bersatu untuk mencapai tujuan bersama tertentu.
Aturan mengenai perkumpulan terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), khususnya Pasal 1653–1665.
Pasal 1653 KUHPerdata menyatakan bahwa selain perseroan, diakui pula “perhimpunan-perhimpunan orang sebagai perkumpulan-perkumpulan” sepanjang pendiriannya sah dan tidak bertentangan dengan undang-undang.
Dengan kata lain, perkumpulan adalah badan hukum perdata yang dibentuk atas dasar perjanjian antara anggota-anggotanya. Pasal 1654 selanjutnya menegaskan bahwa setiap perkumpulan yang sah mempunyai kekuatan hukum untuk bertindak layaknya orang perorangan dalam ranah hukum perdata.
Dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi (UU Ormas) Kemasyarakatan juga mengakui pentingnya perkumpulan.
UU Ormas mendefinisikan organisasi kemasyarakatan (Ormas) sebagai organisasi yang didirikan secara sukarela oleh masyarakat berdasarkan kesamaan aspirasi dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan negara.
Istilah “perkumpulan” dalam konteks ini sering merujuk pada ormas yang berbadan hukum, yaitu suatu yayasan atau asosiasi dengan anggota.
Dalam kehidupan bermasyarakat, perkumpulan berperan besar sebagai wadah menampung minat, bakat, dan aspirasi anggotanya lewat kegiatan sosial, budaya, keagamaan, atau olahraga.
Sebagai badan hukum, khususnya bagi perkumpulan yang juga menjalankan badan usaha pastinya memiliki hak dan kewajiban hukum tertentu, misalnya mengelola aset bersama atau mematuhi regulasi pemerintah.
Sebagai ilustrasi, bayangkan Nazar adalah seorang aktivis muda dari sebuah organisasi pemuda di Aceh yang hendak menjalankan usaha kecil-kecilan untuk mendukung kegiatan sosialnya.
Meskipun tujuan utamanya sosial, lembaga yang dipimpinnya tetap diikat oleh ketentuan hukum. Di Indonesia, aturan dasar pendirian perkumpulan (termasuk LSM atau Ormas) diatur dalam UU Ormas.
Pertama-tama, jika Nazar dan teman-temannya ingin agar organisasi tersebut berbadan hukum, mereka perlu membuat akta pendirian di hadapan notaris yang memuat anggaran dasar/anggaran rumah tangga, program kerja, sumber pendanaan, surat domisili, NPWP atas nama organisasi, serta surat pernyataan tidak sedang dalam sengketa.
Dokumen akta yang ditandatangani itu kemudian diajukan ke Menteri Hukum dan HAM untuk mendapatkan pengesahan status badan hukum perkumpulan.
Tanpa pengesahan ini, ormas masih bisa beroperasi secara informal, tetapi tidak memiliki kekuatan hukum penuh sebagai badan hukum.
UU Ormas juga mengatur bentuk badan hukum yang dapat diambil oleh organisasi. Pasal 11 menyebutkan bahwa organisasi berbadan hukum dapat berupa perkumpulan (yang berbasis anggota) atau yayasan (tidak berbasis anggota).
Perkumpulan cocok untuk organisasi yang anggotanya aktif terlibat, sementara yayasan lebih pas jika hanya ada pendiri dan pengurus tanpa anggota formal.
Dalam kasus Nazar, struktur organisasinya berbasis komunitas, sehingga dia memilih bentuk perkumpulan agar setiap anggota dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan dan pengambilan keputusan organisasi.
Sebaliknya, jika Nazar memutuskan tidak mendaftarkan badan hukumnya, organisasi tersebut masih punya kewajiban administratif. Pasal 16 UU Ormas menegaskan bahwa setiap ormas tanpa badan hukum wajib didaftarkan dan memperoleh Surat Keterangan Terdaftar dari pemerintah.
Proses pendaftaran ini mensyaratkan pengajuan anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART), program kerja, susunan kepengurusan, dan dokumen pendukung.
Syarat pendiriannya meliputi akta pendirian (memuat AD/ART), surat keterangan domisili, NPWP atas nama organisasi, serta surat keterangan tidak sedang bersengketa pengurus.
Setelah dokumen diverifikasi, instansi terkait (Kementerian Hukum dan HAM, gubernur, atau bupati) akan menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar sebagai bukti legalitas organisasi di wilayah tersebut.
Selanjutnya jika ormas ingin menjalankan usaha secara terpisah, UU Ormas Pasal 39 mengizinkan pembentukan badan usaha oleh organisasi berbadan hukum.
Artinya, Nazar dapat mendirikan koperasi atau perusahaan anak sebagai unit bisnis, asalkan pengelolaannya diatur dalam AD/ART dan mengikuti aturan perusahaan. Dengan cara ini, kegiatan usaha dapat dipisahkan secara legal, sementara ormas tetap fokus pada tujuan sosialnya.
Setelah aspek legal dasar terpenuhi, perhatian bergeser ke perizinan usaha. Nazar menyadari bahwa meski berstatus nirlaba, jika organisasi menjalankan bisnis maka ia harus mengurus izin seperti pelaku usaha biasa.
Salah satunya adalah mengurus Nomor Induk Berusaha (NIB) melalui sistem Online Single Submission (OSS) sebagai identitas resmi pelaku usaha.
Selain itu, organisasi juga perlu mengurus Tanda Daftar Organisasi (biasa diurus di Dinas Sosial atau Kesbangpol setempat) sebagai tanda operasi yang sah.
Misalnya saat membuka kafe komunitas, Nazar juga harus memastikan izin sektor makanan/minuman, sertifikat laik higienis, dan melaporkan pajak daerah sesuai ketentuan. Dengan izin lengkap, usaha organisasi tercatat sah dan terhindar dari masalah hukum.
Kewajiban pelaporan internal pun tak kalah penting. Pasal 38 UU Ormas menyatakan bahwa organisasi yang menghimpun iuran anggota harus menyusun laporan keuangan pertanggungjawaban sesuai standar akuntansi atau ketentuan AD/ART.
Misalnya, jika ormas Nazar rutin menerima iuran bulanan atau donasi, pengurus wajib mencatat setiap pemasukan dan pengeluaran serta menyampaikan laporan tersebut kepada anggota secara berkala.
Bahkan jika ormas menerima sumbangan dari masyarakat luas, undang-undang mengharuskan organisasi mempublikasikan laporan keuangannya secara terbuka berkala.
Sebagai contoh, sebuah LSM lingkungan kerap membagikan laporan tahunan di situs web dan media sosial agar donatur serta publik dapat melihat penggunaan dana kegiatan.
Hal krusial berikutnya adalah perpajakan. Dalam UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), yayasan atau LSM termasuk dalam subjek pajak badan.
Ini berarti jika organisasi memperoleh penghasilan kena pajak, maka organisasi tersebut wajib mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak Badan.
Setelah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif, setiap badan nirlaba harus memiliki NPWP dan melaporkan SPT Tahunan layaknya perusahaan pada umumnya.
Banyak orang keliru mengira nirlaba bebas pajak, padahal UU PPh hanya mengecualikan surplus untuk tujuan amal tertentu, sementara pendapatan usaha lainnya tetap harus dilaporkan ke pajak.
Contohnya, sebuah yayasan pendidikan yang menjalankan toko buku amal tetap memiliki NPWP dan rutin melaporkan SPT setiap tahunnya, walau keuntungannya sepenuhnya disumbangkan untuk kegiatan sosial.
Lebih luas lagi, Ormas dan serikat kerja tetap tunduk pada norma hukum lain yang berlaku. Sebagai entitas yang menjalankan usaha, mereka harus memenuhi aturan perlindungan konsumen jika menjual produk, serta izin lingkungan jika kegiatannya berdampak lingkungan.
Jika mempekerjakan pegawai, organisasi wajib mengikuti Undang-Undang Ketenagakerjaan mulai dari menetapkan upah sesuai aturan, membayar iuran jaminan sosial (BPJS), hingga memenuhi standar keselamatan kerja.
Demikian pula jika ormas memiliki karyawan, organisasi tersebut wajib mendaftarkan jaminan sosial Kesehatan dan Ketenagakerjaan serta membayar hak upah sesuai UU Ketenagakerjaan.
Singkatnya, sebuah organisasi sosial dengan kegiatan usaha harus “ganda” dalam kepatuhan, yakni menjalankan mekanisme organisasi (rapat anggota, AD/ART, laporan pertanggungjawaban) sekaligus menaati peraturan bisnis yang berlaku.
Dengan memahami dan memenuhi semua kewajiban ini, sebuah organisasi nirlaba yang menjalankan usaha dapat berjalan secara sah dan berkelanjutan.
Tanpa patuh pada Undang-Undang Ormas, perpajakan, perizinan, dan ketenagakerjaan tersebut, suatu organisasi justru bisa menghadapi sanksi administratif bahkan pembubaran.
Bahkan, beberapa perkumpulan secara aktif mengadakan pelatihan internal untuk pengurus keuangan agar laporan keuangan dan pajak mereka selalu akurat dan siap diaudit pemerintah, sehingga ketika diminta transparansi kepada publik atau pemeriksa, data lengkap dan kepatuhan organisasi dapat dipertanggungjawabkan.
Oleh karena itu, pengurus organisasi perlu paham betul segala kewajiban hukum ini agar kegiatan lembaga tercatat legal dan aman.
Sah! menyediakan layanan berupa pengurusan legalitas usaha serta pembuatan izin HAKI termasuk pendaftaran hak cipta. Sehingga, tidak perlu khawatir dalam menjalankan aktivitas lembaga/usaha.
Untuk yang hendak mendirikan lembaga/usaha atau mengurus legalitas usaha bisa hubungi WA 0851 7300 7406 atau dapat kunjungi laman Sah.co.id
Referensi
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
- Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
- Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
- https://www.hukumonline.com/berita/a/mengenal-serikat-pekerja-di-indonesia-serta-aturan-hukumnya-lt6215e1d98a3ad/?utm_source=chatgpt.com
- https://bajangjournal.com/index.php/J-ABDI/article/download/7006/5412/13677
- https://halojpn.id/publik/d/permohonan/2023-513f