Sah! –Transaksi jual beli tanah merupakan hal yang sangat penting karena menyangkut aset bernilai tinggi serta kepemilikan jangka panjang. Namun, dalam praktiknya, masih banyak masyarakat yang melakukan jual beli hanya dengan kwitansi atau perjanjian sederhana di bawah tangan tanpa melibatkan Notaris maupun Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Lalu, bagaimana sebenarnya kedudukan hukum jual beli tanah semacam ini?
Dasar Hukum Jual Beli Tanah Tanpa Akta Notaris
Secara hukum, peralihan hak atas tanah baru dianggap sah jika dibuat dalam bentuk Akta Jual Beli (AJB) oleh PPAT. Ketentuan ini ditegaskan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 serta PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Tanpa AJB, transaksi hanya sebatas kesepakatan perdata antara penjual dan pembeli. Artinya, perjanjian tersebut tidak dapat digunakan untuk balik nama sertifikat di Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Oleh karena itu, meskipun ada tanda tangan di atas kwitansi, kepemilikan tanah secara hukum tetap berada pada nama yang tercantum dalam sertifikat, yaitu penjual.
Akibatnya, pembeli berisiko kehilangan hak atas tanah jika sewaktu-waktu penjual atau ahli warisnya melakukan klaim.
Risiko Jual Beli Tanah Tanpa Melibatkan PPAT
Melakukan jual beli tanah tanpa melalui notaris atau PPAT berpotensi menimbulkan berbagai kerugian serius, di antaranya:
- Tidak sah secara hukum – karena tidak memenuhi syarat formal pembuatan AJB.
- Sengketa kepemilikan – tanah bisa ditarik kembali oleh penjual atau digugat oleh ahli waris.
- Balik nama sertifikat terhambat – BPN hanya menerima AJB resmi sebagai dasar balik nama.
- Potensi penipuan – tanah bisa digadaikan, dijual ke pihak lain, atau memiliki status hukum bermasalah.
- Perlindungan hukum lemah – tanpa akta autentik, posisi pembeli akan sulit di pengadilan.
Dengan kata lain, jual beli tanah tanpa notaris bukan hanya tidak aman, tetapi juga berisiko kehilangan aset secara permanen.
Perlindungan Hukum bagi Pembeli
Meskipun penuh risiko, hukum tetap memberikan perlindungan terbatas bagi pembeli. Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, perjanjian tetap sah apabila memenuhi empat syarat, yaitu:
- Adanya kesepakatan,
- Kecakapan para pihak,
- Objek tertentu, dan
- Sebab yang halal.
Dengan demikian, perjanjian bawah tangan tetap mengikat secara perdata, meskipun tidak dapat digunakan untuk pendaftaran hak atas tanah.
Selain itu, bukti tambahan seperti kwitansi pembayaran, saksi, dan bukti penguasaan tanah (misalnya rutin membayar PBB) dapat memperkuat posisi pembeli di pengadilan. Dalam beberapa kasus, hakim dapat mengakui kepemilikan berdasarkan penguasaan nyata dan itikad baik.
Peran BPN dan Pentingnya Notaris/PPAT
Selanjutnya, perlu dipahami bahwa BPN memiliki kewenangan dalam pendaftaran tanah dan penerbitan sertifikat kepemilikan. Proses ini hanya dapat dilakukan dengan Akta Jual Beli (AJB) yang dibuat oleh PPAT.
Oleh karena itu, kehadiran notaris atau PPAT sangat penting, bukan sekadar formalitas. Mereka bertugas untuk:
- Memastikan keaslian dokumen,
- Memverifikasi identitas para pihak, dan
- Menjamin bahwa transaksi dilakukan sesuai peraturan hukum.
Dasar kewenangan ini ditegaskan dalam Pasal 15 UU No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, yang menyebutkan bahwa notaris berwenang membuat akta autentik. Akta ini memiliki kekuatan pembuktian yang jauh lebih kuat dibandingkan perjanjian bawah tangan.
Kesimpulan: Jangan Abaikan Keabsahan Transaksi Tanah
Pada akhirnya, jual beli tanah tanpa notaris memang sering terjadi di masyarakat, namun secara hukum tidak memiliki kekuatan untuk balik nama sertifikat. Praktik semacam ini penuh risiko — mulai dari potensi penipuan hingga sengketa kepemilikan.
Oleh sebab itu, demi kepastian hukum dan perlindungan hak kepemilikan, pastikan setiap transaksi tanah dilakukan dengan Akta Jual Beli (AJB) di hadapan PPAT. Meskipun ada biaya tambahan, langkah ini adalah investasi perlindungan hukum yang sangat penting bagi keamanan aset jangka panjangmu.









