Sah! – Kasus kekerasan terhadap penyandang disabilitas mental masih sering ditemukan di lingkungan masyarakat. Tentunya kasus seperti ini melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Seorang Penyandang disabilitas masih sering dianggap sebagai manusia yang tidak dapat melakukan hal apapun dan juga tidak mempunyai hak penuh terhadap asasi manusia.
Penyandang disabilitas juga diartikan oleh sebagian besar masyarakat sebagai insan yang mempunyai banyak kekurangan diantaranya keterbatasan fisik, mental, intelektual, dan/atau sensoriknya pada jangka waktu yang lama sehingga hal ini dapat mengakibatkan terjadinya hambatan dalam berinteraksi dengan orang lain secara efektif.
Masalah-masalah kekerasan seksual, prostitusi ataupun eksploitasi pada saat ini masih menjadi masalah yang paling sering dan sangat menjadi perhatian serius di Indonesia, yang di mana kasus ini tidak hanya terjadi pada anak remaja maupun dewasa, bahkan orang tua sekalipun banyak yang sering mengalami kekerasan seksual.
Dilihat dari data PBB secara global, 1 dari 3 atau kurang lebih 35% perempuan di seluruh dunia pasti pernah mengalami kekerasan, dan bahkan kebanyakan pelakunya adalah orang-orang terdekat dari para korban.
Akan tetapi, walaupun sudah terdapat peraturan yang mengatur kekerasan ini yang terdapat di Undang-Undang No. 8 tahun 2016 terkait perlindungan penyandang disabilitas, masih tetap saja banyak kasus-kasus yang beredar mengenai kekerasan seksual yang terjadi pada penyandang disabilitas yang terjadi di masyarakat.
Keadaan ini menjadi suatu pusat perhatian, suatu kasus diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas umumnya banyak terjadi di lingkungan pekerjaan daripada lingkungan pendidikan.
Akan tetapi, tidak sedikit pula masyarakat yang menyatakan bahwa hak, aksesibilitas, dan pendampingan khusus sebaya terhadap para penyandang disabilitas bukan suatu hal yang penting untuk dilakukan.
Bahkan tidak jarang juga ada masyarakat yang justu memilih untuk tidak banyak berkomentar terhadap permasalahan ini, setiap penyandang disabilitas juga mempunyai hak untuk dapat memperoleh aksesibilitas terhadap kemandiriannya.
Pada masa ini masih banyak para penyandang disabilitas mental psikososial yang terkurung di panti rehabilitasi.
Panti yang seharusnya menjadi tempat bagi mereka untuk dapat sembuh justru menjadi tempat mengerikan bagi mereka dimana mereka harus merasakan dan mengalami tindak kekerasan dan perlakuan yang melanggar hak asasi manusia.
Para penyandang disabilitas tersebut harus merasakan makan, tidur, buang air dan bahkan terpasung di dalam panti. Mereka seakan-akan hidup dalam sangkar burung yang terkurung dan tidak dapat merasakan kebebasan.
Adapula perhimpunan Jiwa Sehat mencatat, masih ada 12.600 difabel mental psikososial yang terkurung di panti tanpa dimanusiakan.
Ketua perhimpunan jiwa sehat mengatakan bahwa saat ini masih ada tempat yang memberlakukan kekerasan dan melanggar convention against torture, tempat tersebut adalah panti.
Menurut pantauan dari PJS di beberapa panti penyandang disabilitas mental yang ada di Jakarta dan beberapa kota-kota besar yang ada di Pulau Jawa, pemasungan masih banyak dilakukan di panti terhadap para penyandang disabilitas.
Selain itu, penghuni panti perempuan banyak yang mengalami kekerasan seksual di antaranya diperkosa, diraba bagian tubuhnya, dan dimandikan di tempat umum. Perilaku yang mereka lakukan tentu sudah tidak dapat dianggap sebagai perilaku manusia. Jika ditelusuri mereka justru memperlakukan para penyandang disabilitas seperti bukan manusia.
Seorang perempuan penghuni panti pun menjelaskan kondisi yang dialaminya dimana dia tidak boleh memanjangkan rambutnya, rambut mereka selalu digunduli begitu saja.
Para penghuni panti tidak dapat melakukan dan berbuat apapun lantaran mereka tidak diperbolehkan untuk keluar dan menggunakan alat komunikasi yang dapat mereka gunakan untuk menghubungi keluarga.
Salah satu penghuni panti mengatakan, pada saat masuk panti dirinya diperlakukan seperti seorang kriminal. Dia dipaksa untuk masuk ke panti yang diperuntukan untuk dapat merehabilitasi para penyandang disabilitas.
Seorang penghuni panti menuturkan bahwasannya dia selama 2 tahun berada pada situasi dan kondisi yang tidak baik di dalam panti, untuk sekedar menghubungi keluarga saja tidak diperbolehkan.
Tidak hanya memperoleh tindak kekerasan, orang yang menempati panti sosial disabilitas juga mendapatkan pelayanan kesehatan yang tidak layak. Tidak hanya kebersihan dan sanitasi yang tidak baik, apabila ditemukan penghuni panti yang sakit, para penjaga bahkan mengabaikan dan tidak niatan untuk membawa mereka yang sakit ke bidan, dokter, ataupun rumah sakit terdekat.
Dalam menghadapi kondisi seperti itu, Perhimpunan Jiwa Sehat memberikan saran, ada baiknya suatu tatanan panti yang diperuntukan untuk disabilitas mental untuk tidak lagi melakukan membelenggu penghuni panti, sebaiknya konsep panti untuk disabilitas mental tidak lagi mengurung penghuni panti, seharusnya memperkenankan penghuni panti keluar masuk seperti penghuni panti sosial lainnya.
Perhimpunan Jiwa Sehat memberikan contoh dengan penghuni di panti sosial bina netra ataupun bina rungu dan bina daksa yang menjadi acuan untuk dapat memberikan tempat tinggal yang sangat nyaman bagi penyandang disabilitas mental.
Menurut Pasal 11 UU TPKS, pelaku yang melakukan kekerasan seksual mendapat pidana penjara paling lama 12 tahun. Pelaku juga akan dipidana denda sebanyak Rp300 juta.
Selain sanksi pidana terdapat opsi sanksi lainnya seperti sanksi sosial dan sanksi kebiri. Negara Indonesia telah mengatur mengenai hukum kebiri pada UU perlindungan anak yaitu ada pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dan perubahannya serta Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak (PP 70/2020).
Tujuan dari adanya pemberian sanksi-sanksi ini adalah memberikan efek jera kepada pelaku. Di sisi lain, hal ini memberi manfaat positif yaitu untuk menekan angka kriminalitas di masa depan.
Berdasarkan kasus kekerasan pelecehan terhadap penyandang disabilitas mental di panti terdapat keterkaitan dengan prinsip-prinsip yang terdapat pada Hak Asasi Manusia.
Kasus ini bertentangan dengan prinsip pelarangan diskriminasi, prinsip universal, dan prinsip terkait dengan martabat manusia.
Jika dikaitkan dengan prinsip pelarangan diskriminasi maka kasus ini bertentangan dengan prinsip tersebut, karena berdasarkan prinsip ini seharusnya seorang penyandang disabilitas mendapatkan perlakuan yang sama atau setara dengan individu lainnya, sementara pada kasus yang dibahas, anak panti sebagai penyandang disabilitas mental justru mendapatkan perlakuan kekerasan, pelecehan oleh pemilik dan pengurus panti.
Selanjutnya, kasus ini juga bertentangan dengan prinsip universal, yang dimana prinsip ini menjelaskan bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak menyeluruh yang diperoleh oleh semua orang di dunia tanpa membedakan individu satu dengan individu yang lain.
Namun, pada kenyataannya Hak Asasi Manusia tidak diperoleh penyandang disabilitas seperti halnya kasus anak panti yang sudah dibahas dalam artikel ini.
Kemudian pada prinsip martabat manusia menjelaskan bahwa perlu adanya dalam diri setiap orang untuk mempunyai rasa hormat pada hak orang lain, serta menegakkan rasa toleransi antar sesama manusia, akan tetapi pada kasus ini pemilik dan pengurus panti tidak memiliki rasa hormat tersebut kepada panyandang disabilitas mental.
Demikianlah artikel yang membahas seputar kasus kekerasan terhadap penyandang disabilitas mental dengan perspektif HAM.
Sah! menyediakan beragam artikel yang dapat kalian akses melalui Laman Sah.co.id. Dengan ribuan artikel bisa menambah pengetahuan dan wawasan kalian sebab banyak sekali informasi bermanfaat yang kalian peroleh.
Source:
Ashri, Muhammad, Hak Asasi Manusia Filosofi, Toeri, & Instrumen Dasar, 2018
Dr. Alwan Hadiyanto & Tri Artanto, Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia, 2021
Hassoun, Nicole, ‘Responding to the Tragedies of Our Time – The Human Right to Health and the Virtue of Creative Resolve’, Global Justice : Theory Practice Rhetoric, 13.02 (2022), 41–59 <https://doi.org/10.21248/gjn.13.02.256>
Hayati, Istiqomatul, ‘Penyandang Disabilitas Mental Di Panti Rehabilitasi: Dipasung, Kemerdekaan Dirampas Dan Alami Pelecehan Seksual’, Tempo.Co, 2022