Berita Terbaru Hari Ini, Update dan Terpercaya
banner 728x250
HAKI  

AI vs Manusia: Siapa yang Lebih Berhak atas Lagu Ciptaannya?

Ilustrasi Hak Cipta dan Kecerdasan Buatan di Dunia Musik

Di Era yang Serba Mesin, Hak Cipta Menguji Batas Kreativitas Manusia

AI dan Revolusi Kreativitas

Sah! — Dalam beberapa tahun terakhir, kecerdasan buatan (AI) telah memasuki berbagai aspek kehidupan manusia. Hal ini tidak terkecuali di dunia seni dan musik. Kita dapat melihat bagaimana AI memberikan bantuan dalam proses produksi musik. Selain itu, kemampuan AI pun terus berkembang sedemikian rupa hingga mampu menciptakan lagu sendiri.

Bahkan, dalam hitungan detik, kita bisa mendengar lagu baru yang tak terduga, diciptakan oleh kecerdasan buatan. Dengan demikian, kemunculan realitas baru ini tentu diikuti dengan pertanyaan yang kompleks dan mendesak:

Ketika sebuah karya musik dapat diciptakan oleh AI, siapakah pemilik hak cipta sebenarnya?
Apakah mesin itu sendiri, manusia yang mengoperasikannya, atau tidak ada hak yang dapat diklaim sama sekali?

Diskursus Hak Cipta atas Karya Berbasis AI

Selama ini, ketika membahas konteks hak cipta, topik tersebut selalu dikaitkan dengan kreativitas manusia. Manusia dianggap satu-satunya makhluk yang dapat mengekspresikan pikiran, emosi, dan imajinasi hingga menghasilkan karya yang unik dan bernilai.

Menurut Undang-Undang yang berlaku di Indonesia, hak cipta hanya dapat diberikan kepada manusia sebagai subjek hukum. Sementara itu, hingga saat ini Indonesia belum memiliki pengaturan eksplisit mengenai AI atau undang-undang yang memberikan kapasitas kepada mesin untuk menjadi pencipta.

Oleh karena itu, perdebatan mengenai kepemilikan hak cipta atas karya AI cenderung merujuk pada prinsip-prinsip hukum umum yang telah ada.

Prinsip Keadilan (Principle of Fairness)

Pada dasarnya, hukum hak cipta diciptakan untuk memastikan keadilan bagi para pencipta. Prinsip ini dimaksudkan agar setiap karya mendapatkan penghargaan yang layak atas kerja keras, waktu, dan kreativitas yang dicurahkan. Namun demikian, ketika dihadapkan pada AI, asas ini menjadi kabur dan sulit diterapkan.

Lalu, siapa yang berhak diberikan penghargaan secara adil?

Pertanyaan ini muncul karena definisi “pencipta” bisa sangat luas. Di satu sisi, operator — yakni orang yang memberikan perintah atau prompt kepada AI — berperan dalam mengarahkan proses penciptaan karya. Di sisi lain, pengembang AI juga memiliki klaim yang kuat karena merekalah yang menciptakan sistem dan algoritma yang memungkinkan AI bekerja.

Dengan demikian, baik operator maupun pengembang dapat dianggap memiliki kontribusi signifikan terhadap hasil akhir.

Prinsip Orisinalitas (Principle of Originality)

Ketika berbicara tentang orisinalitas, konsep ini selalu berkaitan erat dengan kemampuan intelektual manusia. Karya orisinal dipahami sebagai hasil dari emosi, intuisi, dan pengalaman yang unik dari manusia.

Namun, bagaimana jika AI menciptakan karya musik baru? Apakah karya tersebut bisa disebut orisinal?

Pertanyaan ini sangat filosofis, karena menyangkut batas antara kreativitas manusia dan algoritma. Walaupun karya yang dihasilkan AI tampak baru, pada dasarnya ia merupakan hasil komputasi dari pola-pola yang sudah ada sebelumnya. Oleh sebab itu, masih menjadi perdebatan apakah proses yang sepenuhnya mekanis dan matematis bisa dianggap sebagai bentuk kreativitas sejati.

Mendefinisikan Ulang “Ciptaan” di Era Digital

Pada akhirnya, kita membutuhkan terobosan hukum untuk mengatur posisi AI dalam konteks hak cipta. Dengan adanya kedudukan yang jelas mengenai peran AI, maka kita dapat mengembangkan pendekatan hukum yang lebih relevan terhadap perkembangan teknologi.

Selain itu, mungkin saja di masa depan konsep “ciptaan” tidak lagi harus terbatas pada hasil pikiran manusia semata, tetapi juga mencakup kolaborasi manusia dan mesin.

Oleh karena itu, revisi terhadap Undang-Undang Hak Cipta menjadi hal yang mendesak. Langkah ini penting agar AI dan teknologi musik dapat berjalan beriringan, membentuk babak baru dalam sejarah seni dan kreativitas manusia.

Kesimpulan

Perdebatan tentang hak cipta karya musik berbasis AI bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal nilai, keadilan, dan identitas kreatif manusia. Dunia tengah berada di titik persimpangan antara teknologi dan kemanusiaan — dan bagaimana kita menafsirkan konsep “ciptaan” akan menentukan arah masa depan kreativitas itu sendiri.

Source : 

https://e-hakcipta.dgip.go.id
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/juinhum/article/view/7894