Sah! – Di tengah pesatnya perkembangan dunia usaha di Indonesia, khususnya di sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Commanditaire Vennootschap atau yang lebih dikenal dengan CV menjadi pilihan badan usaha yang sangat diminati.
Alasannya sederhana: dibandingkan dengan Perseroan Terbatas (PT), proses pendirian CV dinilai lebih mudah, biayanya lebih ringan, dan strukturnya fleksibel.
Di balik kesederhanaan itu, ada satu pertanyaan penting yang sering terlontar dari para pelaku usaha yang ingin mendirikan CV, yaitu: bagaimana sebenarnya status hukum CV yang didirikan tanpa pengesahan akta? Apakah CV tersebut tetap sah dan diakui oleh hukum?
Pertanyaan ini bukan sekadar kekhawatiran yang tidak berdasar. Banyak pengusaha kecil yang, karena keterbatasan informasi atau biaya, memilih untuk mendirikan CV tanpa mengikuti seluruh prosedur administrasi yang ditetapkan.
Mereka mengandalkan semangat kemitraan, kepercayaan, dan kesepakatan lisan atau tulisan sederhana di antara para pendirinya. Namun, dalam dunia hukum, semangat saja tidak cukup. Kepastian hukum menuntut langkah-langkah formal yang harus dilalui.
Untuk memahami duduk perkara ini, kita perlu kembali kepada dasar hukum pendirian CV di Indonesia. Dalam Pasal 19 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), CV didefinisikan sebagai suatu persekutuan yang didirikan antara satu pihak atau lebih yang bertindak sebagai sekutu aktif dan satu pihak atau lebih yang bertindak sebagai sekutu pasif.
Awalnya, cukup dengan membuat akta pendirian di hadapan notaris dan mendaftarkannya di Pengadilan Negeri. Namun, seiring berjalannya waktu dan kebutuhan akan administrasi usaha yang lebih tertib, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 17 Tahun 2018.
Melalui peraturan ini, prosedur pendaftaran CV menjadi lebih modern, yaitu melalui Administrasi Hukum Umum (AHU). Sistem ini mengharuskan para pendiri CV untuk mengajukan nama perusahaan, membuat akta notaris, lalu mendaftarkannya ke AHU dalam jangka waktu 60 hari sejak akta ditandatangani.
Jika seluruh proses ini dipenuhi, maka Kementerian Hukum dan HAM akan menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) sebagai bukti bahwa CV tersebut telah sah dan diakui oleh negara.
Namun bagaimana jika proses ini tidak dijalankan? Bagaimana jika CV hanya dibuat melalui akta notaris tanpa didaftarkan atau bahkan hanya sebatas kesepakatan di atas kertas biasa?
Menariknya, KUHD sendiri tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa CV yang tidak didaftarkan otomatis batal demi hukum. Pasal 23 KUHD memang mengatur kewajiban pendaftaran akta ke Pengadilan Negeri, tetapi tidak menetapkan sanksi berupa pembatalan jika tidak dilakukan.
Akibatnya, dalam praktiknya, CV tanpa pendaftaran tetap dapat dianggap eksis secara faktual di antara para sekutunya. Hubungan hukum di antara mereka tetap sah berdasarkan prinsip perjanjian dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang mengatur syarat sahnya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan, kecakapan, objek tertentu, dan sebab yang halal.
Namun, eksistensi yang hanya sah di antara para pendiri ini menimbulkan masalah besar ketika CV tersebut berhadapan dengan dunia luar. Tanpa pendaftaran dan tanpa SKT, CV dianggap tidak memiliki badan hukum yang diakui negara.
Ini berarti bahwa terhadap pihak ketiga, keberadaan CV bisa dipertanyakan. Dalam situasi sengketa, misalnya, pengadilan bisa kesulitan mengakui eksistensi CV yang tidak memiliki bukti administrasi formal, bahkan mungkin menyatakan bahwa hubungan hukum yang terjadi adalah hubungan perorangan biasa, bukan hubungan melalui badan usaha.
Dari sisi administrasi modern, Permenkumham No. 17/2018 memperjelas bahwa pendaftaran melalui AHU adalah sebuah keharusan. Tanpa SKT, sebuah CV tidak dapat mengurus berbagai dokumen penting seperti Nomor Induk Berusaha (NIB), NPWP badan, ataupun izin usaha lainnya.
Akibatnya, operasional CV menjadi serba terbatas dan rentan masalah hukum. Nama CV yang tidak tercatat pun berisiko diambil pihak lain yang lebih dulu melakukan pendaftaran secara resmi, menambah potensi sengketa di kemudian hari.
Dari kaca mata para ahli hukum, pendirian CV tanpa SKT tetap memiliki kekuatan secara keperdataan, namun sangat lemah dari sisi administrasi publik. Hubungan antar-sekutu tetap terikat sah, tetapi hubungan dengan pihak ketiga, termasuk lembaga keuangan, menjadi tidak terjamin.
CV tanpa SKT akan kesulitan membuka rekening atas nama badan usaha, mengajukan pinjaman, atau mengikuti tender proyek, karena semua itu mensyaratkan dokumen legalitas yang sah.
Dampaknya pun merambat pada beban tanggung jawab sekutu aktif. Dalam CV yang terdaftar dan memiliki SKT, sekutu aktif memang sudah memikul tanggung jawab penuh terhadap utang-utang CV.
Namun dalam CV yang tidak terdaftar, tanggung jawab itu melekat lebih berat lagi, karena tidak adanya pemisahan jelas antara kekayaan pribadi sekutu dan kekayaan usaha.
Jika timbul utang atau kewajiban, pihak luar bisa langsung menuntut aset pribadi sekutu aktif tanpa harus melalui mekanisme perusahaan. Ini tentu menjadi risiko besar yang jarang disadari oleh para pendiri CV kecil.
Di sisi lain, jika terjadi sengketa bisnis atau perjanjian usaha, CV tanpa SKT berisiko dinyatakan tidak sah oleh pengadilan. Artinya, seluruh perjanjian yang dibuat atas nama CV tersebut dapat dibatalkan, dan seluruh tanggung jawab hukum bisa berbalik menjadi tanggung jawab pribadi pendiri.
Bayangkan betapa besarnya kerugian yang bisa timbul, hanya karena kelalaian dalam mengurus satu dokumen formal.
Dari uraian ini, kita bisa menarik satu kesimpulan penting: meskipun secara keperdataan CV tanpa pengesahan akta masih sah di antara para pendirinya, secara administratif CV tersebut tidak diakui oleh negara.
Dalam dunia usaha yang semakin kompleks dan terhubung, legalitas formal menjadi kebutuhan mutlak, bukan sekadar formalitas belaka. Tanpa pengakuan resmi, sebuah CV akan menghadapi hambatan besar dalam akses ke lembaga keuangan, kredibilitas di mata mitra bisnis, serta perlindungan hukum dalam menghadapi sengketa.
Oleh karena itu, bagi siapa pun yang berencana mendirikan CV, penting untuk tidak hanya berhenti pada pembuatan akta, tetapi juga melanjutkan hingga proses pendaftaran dan perolehan SKT.
Langkah ini mungkin terasa merepotkan di awal, tetapi akan menjadi penyelamat di kemudian hari, memberikan perlindungan, kemudahan usaha, serta rasa aman dalam membangun dan mengembangkan bisnis.
Pada akhirnya, dunia usaha tidak hanya membutuhkan semangat dan kepercayaan. Ia menuntut kepastian hukum. Dan kepastian itu hanya bisa diraih melalui langkah-langkah formal yang benar sejak awal.
Sah! menyediakan layanan konsultasi hukum terkait ketenagakerjaan, termasuk pendampingan dalam kasus PHK massal. Dengan bantuan profesional, karyawan dapat memastikan hak-haknya terpenuhi sesuai hukum.
Bagi yang membutuhkan bantuan hukum terkait PHK atau masalah ketenagakerjaan lainnya, dapat menghubungi WA 0851 7300 7406 atau mengunjungi laman Sah.co.id.
Sah! Indonesia, solusi legalitas dan perlindungan hukum Anda!
Referensi:
- Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal 19-23.
- Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Persekutuan Komanditer, Persekutuan Firma, dan Persekutuan Perdata.
- Hukumonline. (2025). Aturan pendirian CV